
NOIS.CO.ID -- Setara Institute dengan tegas meminta Panglima TNI serta Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) untuk secepatnya mencabut dan menghapuskan SuratTelegram (ST) tentang penempatan pasukan TNI sebagai kekuatan pemeliharaan keamanan di area Kejaksaan. Mereka berpendapat bahwa langkah ini bertolak belakang dengan undang-undang dasar negara dan prinsip supremacy of civil rule yang merupakan salah satu fondasi penting dari demokrasi di Indonesia.
Ketua Dewan Nasional dari Institut SETARA, Hendardi, mengungkapkan bahwa melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk membantu keamanan lembaga penegak hukum sipil seperti Kejaksaan bertentangan dengan struktur hukum negara kita.
"Hendardi menyatakan dalam pernyataannya pada hari Senin (12/5) tidak terdapat situasi obyektif yang mengindikasikan Kejaksaan memerlukan dukungan militer TNI untuk tugas keamanan," katanya.
Menurut dia, langkah tersebut malah mengundang ketidakpastian tentang kemungkinan ada motif tersembunyi yang menyertakan unsur militer di bidang civik. Dia tegaskan bahwa Kepolisian sebagai badan penerapan hukum perlu bertahan pada ranah sipil dan tidak seharusnya membawa lembaga militer ke dalam pekerjaannya.
Partisipasi tentara dari TNI dalam menjaga keamanan kantor Kejaksaan pasca dikeluarkannya Surat Telegram Nomor TR/422/2025 yang mencakup instruksi penugasan anggota serta perlengkapannya guna membantu pengawalan Kejaksaan Agung dan Daerah se-Indonesia.
"Perintah tersebut dengan tegas bertentangan dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, UU Kejaksaan, UU Pertahanan Nasional, serta UU Tentara Nasional Indonesia. Tidak terdapat landasan hukum yang mengizinkan penggunaan angkatan militer dalam urusan penegakan hukum di bidang sipil," tambah Hendardi.
Dia menggarisbawahi pentingnya menjaga supremasi hukum serta supremasi sipil sebagai landasan utama dalam sebuah negara demokratis, hal ini seharusnya dipertahankan daripada dibaurkan lewat kerjasama tanpa dasar yuridis. Institusi SETARA pun mencatat ada Perjanjian Kerja Sama (MoU) antara Kepolisian dan Angkatan Darat yang diyakini memiliki unsur politik.
"Kami melihat kerjasama ini sebagai komponen dalam proses memperkokoh peran militer dalam urusan sipil, yang rentan terhadap pengaruh kepentingan politik berkekuatanan, khususnya saat membahas Rancangan Undang-Undang Kejaksaan dan Rancangan Undang-Undang KUHP," ungkap Hendardi.
Menurut dia, partisipasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) di dalam mekanisme peradilan pidana dapat merusak kesatuan hukum serta makin memburukkan aspek pertanggungjawaban dalam struktur hukum domestik. Hendardi mencatat bahwa penerbitan Surat Telegram itu menjadi bukti bahwasanya sentimen militeristik sedang berulir lagi di institusi yang bertugas untuk pelaksanaan hukum, apalagi hal ini didorong oleh Jaksa itu sendiri.
"Kami perlu berhati-hati dengan cendrung ini. Kerjasama seperti itu dapat membuka jalan untuk mengurangi superioritas hukum dan membatasnya prinsip-prinsip demokratis dalam pengelolaan negeri," katanya.
Selanjutnya, Hendardi mengingatkan bahwa partisipasi tentara dalam mekanisme peradilan pidana sipil tidak hanya melanggar aturan hukum, tapi juga merupakan penyalahgunakan dari tujuan reformasi yang dicita-dicikakan.
"Kami meminta Panglima TNI dan KASAD mencabut semua pasukan dari tugas keamanan Kejaksaan serta mengakhiri setiap jenis dukungan militer kepada institusi sipil tanpa dasar dalam hukum yang valid," tandasnya.
Tidak ada komentar