
NOIS.CO.ID --, JAKARTA - Seiring meningkatnya kompleksitas ancaman siber , dunia usaha—baik besar maupun kecil—menghadapi risiko yang lebih besar dari sebelumnya. Pertanyaannya kini bukan lagi apakah sebuah bisnis akan menjadi target, melainkan kapan hal itu akan terjadi.
Serangan siber telah menjelma menjadi isu krusial bagi semua jenis usaha, dari korporasi multinasional hingga usaha kecil dan menengah (UKM).
Jika dahulu serangan siber lebih lazim di sektor-sektor yang diatur ketat seperti perbankan, utilitas, dan lembaga pemerintahan, kini hampir semua sektor industri rentan. Di tengah percepatan transformasi digital—dari adopsi cloud, pertumbuhan e-commerce, hingga sistem pembayaran digital—permukaan serangan kian meluas. Satu insiden kebocoran data bisa cukup untuk meruntuhkan kepercayaan pelanggan yang dibangun bertahun-tahun.
Indonesia tidak kebal dari pelanggaran data besar. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah insiden besar terjadi—termasuk kebocoran data BPJS Kesehatan yang melibatkan lebih dari 200 juta catatan. Pada Juni 2024, serangan ransomware terhadap Pusat Data Nasional menyebabkan gangguan pada 282 institusi pemerintah, disertai permintaan tebusan senilai US$8 juta. Tak berhenti di sana, informasi pelanggan e-commerce, pengguna layanan seluler, bahkan data lembaga pemerintah juga sempat bocor akibat serangan siber.
Di luar kasus besar yang ramai diberitakan, banyak serangan siber terhadap UKM tidak terdeteksi atau tidak dilaporkan. Studi Cisco mencatat satu dari tiga UKM di Indonesia pernah mengalami serangan dalam 12 bulan terakhir—berujung pada kerugian pendapatan dan reputasi. Minimnya keahlian teknis dan keterbatasan sumber daya membuat UKM kesulitan membangun pertahanan siber yang memadai.
Secara global, dampak serangan siber sangat nyata. British Airways dikenakan denda senilai US$230 juta akibat kebocoran data setengah juta pelanggannya. Di Singapura, Carousell dijatuhi sanksi karena insiden yang berdampak pada dua juta pengguna. Denda regulator hanyalah awal; dampak jangka panjang terhadap reputasi dan kepercayaan jauh lebih sulit dipulihkan.
Di Indonesia, kesiapan keamanan siber mulai menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan bisnis. Perusahaan yang terintegrasi dalam rantai pasok global semakin diawasi soal kapabilitas keamanannya. Publik pun makin kritis terhadap perlindungan data. Kebocoran data kini bukan hanya risiko reputasi, tetapi juga penghalang masuknya peluang bisnis baru.
Rugi finansial karena bocornya data telah banyak dicatat. Akan tetapi, efek pada nama baik perusahaan sering kali jauh lebih merusak. Sebagaimana dilaporkan oleh Forbes, 80% pembeli di negara berkembang cenderung berpindah dari brand yang tak dapat melindungi datanya. Untuk bisnis skala menengah dan kecil, hilangnya kepercayaan konsumen bisa sangat mematikan, khususnya jika mereka kurang memiliki dukungan untuk bangkit kembali.
Bedanya dengan perusahaan besar yang mampu mempekerjakan staf pengacara atau juru bicara untuk krisis, usaha kecil dan menengah lebih rentan terhadap dampak negatif dalam jangka waktu lama yang dapat merugikan kelanjutan bisnis mereka. Karena alasan ini, keamanan cyber harus dijadikan fokus utama sebagai bagian penting dari strategi, tidak sekadar permintaan teknis biasa.
Ancaman siber tidak lagi sekadar urusan tim IT. Ia adalah risiko bisnis yang memerlukan perhatian dari level tertinggi organisasi. Perusahaan harus membangun kepercayaan siber—yakni keyakinan pelanggan, mitra, dan pemangku kepentingan terhadap kemampuan organisasi dalam melindungi data dan menjaga kontinuitas operasional.
Dalam ekonomi digital, kepercayaan siber menjadi keunggulan kompetitif yang nyata. Organisasi yang abai terhadap isu ini berisiko kehilangan pasar, mitra, bahkan akses ke pendanaan.
Langkah Strategis
Pertama, tingkatkan visibilitas dan lindungi data penting. Perusahaan perlu memahami dengan jelas di mana data berada, siapa yang mengaksesnya, dan bagaimana sistem saling terhubung. Tanpa visibilitas menyeluruh, ancaman dapat masuk dari celah yang tidak terpantau. Kedua, jadikan keamanan siber budaya perusahaan. Bukan hanya tugas IT, keamanan siber harus menjadi bagian dari budaya organisasi. Komitmen dari pimpinan perusahaan penting untuk mendorong pelatihan rutin, kebijakan tegas, dan akuntabilitas di semua lini.
Ketiga, manfaatkan teknologi untuk mendeteksi lebih awal. Pelaku serangan kini menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk mempercepat dan memperluas jangkauan serangan. Perusahaan harus membalas dengan teknologi yang sama—menggunakan AI untuk deteksi dini dan respons otomatis terhadap anomali. Keempat, integrasikan keamanan dalam inovasi. Setiap langkah pengembangan teknologi, baik cloud, AI, maupun IoT, harus disertai pertimbangan keamanan sejak awal. Hal ini penting agar inovasi tidak melampaui kapasitas proteksi organisasi.
Kelima, perkuat tata kelola dan transparansi. Kepatuhan terhadap regulasi seperti UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), serta standar internasional seperti ISO/IEC 27001, penting untuk membangun kepercayaan jangka panjang. Tata kelola yang baik menunjukkan tanggung jawab, bukan sekadar kepatuhan.
Keenam, siapkan respons insiden dan strategi komunikasi. Tidak ada organisasi yang kebal dari serangan. Namun, cara merespons insiden akan membedakan antara kerusakan reputasi dan kepercayaan yang tetap terjaga. Komunikasi yang cepat dan terbuka bisa menjadi modal untuk bangkit lebih kuat.
Mengintegrasikan keamanan siber menjadi bagian esensial dari strategi bisnis merupakan hal yang wajib dilakukan sekarang juga. Di tengah lingkungan digital semakin rumit ini, hanya perusahaan yang mengembangkan dasar-dasar kepercayaan dan ketahanan siber yang akan dapat bertahan serta berkembang.
Tidak ada komentar