NOIS.CO.ID.CO.ID, JAKARTA -- Dunia kembali terpaku pada eskalasi mematikan di Timur Tengah. Ketegangan antara Iran dan Israel, dua kekuatan regional dengan ideologi dan kepentingan yang saling bertolak belakang, kini tampak bergerak menuju jurang konflik berkelanjutan. Ketegangan ini bukan semata pertarungan militer, melainkan perang proksi panjang yang telah menyulut kekacauan dari Suriah hingga Gaza, dari Yaman hingga Lebanon. Jika tak diatasi secara diplomatik, dunia harus bersiap menyambut era baru ketidakstabilan global.
Polarisasi Abadi: Dari Konflik Regional ke Dampak Global
Konflik antara Iran dan Israel bukan hanya pertikaian antara dua negara. Ini adalah pusat dari dinamika geopolitik yang lebih luas, di mana kepentingan Amerika Serikat, Rusia, dan bahkan Cina turut bermain dan bertabrakan. Sebelum Revolusi Islam tahun 1979, kedua negara tersebut memiliki hubungan yang erat khususnya dalam hal-hal strategis. Keduanya merupakan minoritas: Israel yang zionis di tengah-tengah wilayah Arab dan Iran yang Syiah di tengah-tengah wilayah Sunni.
Namun semua itu berubah pasca-Revolusi Islam Iran, Iran memposisikan diri sebagai antitesis terhadap dominasi Barat dan "Zionisme global". Israel, dengan dukungan kuat Amerika Serikat, memandang Iran sebagai ancaman eksistensial, khususnya karena program nuklir dan dukungan Teheran terhadap kelompok seperti Hizbullah, Hamas, dan Houthi. Hal ini yang disebut security dilemma, lebih dari sekedar ancaman eksistensial, Israel menganggap Iran sebagai ancaman besar khususnya di bidang keamanan dan kemiliteran. Tuduhan Israel dan Amerika akan pengembangan senjata nuklir Iran, tak terdukung dengan bukti nyata. Hal ini adalah bukti kejelasan dari kegusaran dan kebimbangan yang bersifat spekulatif. Di sisi lain Iran konsisten menggaungkan bahwa program nuklir mereka dijalankan untuk keperluan sipil.
Tidak kalah menarik untuk ditelaah adalah langkah-langkah yang diambil oleh para pemimpin negara, serta cuitan-cuitan mereka di kolom publik. Diketahui bahwa belasan gelombang serangan berupa misil dari Iran telah dilancarkan sebagai balasan atas serangan Israel terhadap Iran. Pada 22 Juni 2025, Amerika Serikat secara langsung terlibat dengan menyerang tiga situs yang dicurigai sebagai situs pengembangan senjata nuklir Iran.
Trump menyatakan bahwa serangan tersebut sangat sukses. Sebaliknya, Iran sebagaimana dikutip oleh
The New York Times
telah memindahkan jumlah Uranium yang besar sebelum tiga situs tersebut diserang. Senin, 23 Juni 2025, Iran membalas dengan menyerang basis militer Amerika di Qatar, namun sebelumnya, Menteri luar negeri Iran bertemu dengan Presiden Vladimir Putin di Moscow. Trump merespon dengan berterima kasih kepada Iran akan pemberitahuan sebelum penyerangan yang menyebabkan korban yang sangat minim. Di lain sisi Qatar menegaskan bahwa mereka memiliki hak secara hukum internasional untuk membalasa serangan Iran. Rusia sebelumnya mengutuk serangan AS terhadap Iran yang bisa mengeskalasi konflik. Hal yang sama juga dilakukan oleh Cina, dengan mengutuk serangan AS terhadap Iran.
Dari sini kita bisa melihat adanya sebuah polarisasi yang dipantik oleh konflik ini. Yang selama ini terduga, sekarang muncul di depan mata. Respon dari banyaknya negara-negara global-south seperti condong dan sedikit bungkam dengan kejadian-kejadian yang nampaknya merugikan AS dan Israel, seakan Lelah dengan hipokrasi AS. Terlebih lagi, dorongan dari congress AS yang secara internal menggoyang Keputusan Presiden Trump untuk masuk ke dalam perang ini.
Hal ini juga dirasakan jika kita melihat narasi-narasi yang dibangun di media-media internasional.
BBC
dan
CNN
selalu menekankan pada keberhasilan negara Barat khususnya Amerika dalam mengatasi konflik ini, pujian juga diberikan kepada langkah-langkah yang diambil AS. Sebaliknya, media seperti
Aljazeera
dan
TRT World
justru sering kali menyuarakan aksi-aksi Iran yang bisa berefek besar pada ekonomi Dunia, seperti potensi penutupan Selat Hormuz tempat 20 persen minyak Dunia berlalu-lalang.
Di balik klaimnya yang gagah dan menggambarkan langkah-langkah Trump, hal-hal ini membuat AS berhitung kembali, yang pada akhirnya, penawaran gencatan senjata diberikan melalui tangan Qatar. Apa sebenarnya langkah-langkah AS efektif dalam meredam konflik atau justru membuat kemarahan Iran semakin membara?
Kita menyaksikan dua arus besar yang bersaing. Di satu sisi, Poros Perlawanan (Axis of Resistance) yang digalang Iran terus mengukuhkan pengaruhnya, dari Irak hingga Lebanon. Di sisi lain, negara-negara Arab seperti UEA, Bahrain, dan Arab Saudi mencoba mendekat ke Israel dalam kerangka Abraham Accords dan normalisasi diplomatik. Keduanya bersaing untuk mengklaim narasi "stabilitas regional".
Namun, pertanyaannya: stabilitas bagi siapa?
Rakyat Palestina tetap menderita di bawah blokade dan pendudukan. Suriah hancur oleh perang proksi. Yaman tenggelam dalam krisis kemanusiaan. Ketika negara-negara besar berbicara soal kepentingan strategis, nyawa rakyat kecil menjadi angka statistik. Perang antara Iran dan Israel bukan hanya soal kedaulatan nasional atau hak membela diri, tapi soal siapa yang berhak menentukan arah masa depan kawasan — melalui diplomasi atau kekuatan senjata.
Indonesia dan Dunia Islam: Diam Bukan Pilihan
Sebagai bagian dari dunia Islam, Indonesia tak bisa hanya menjadi penonton. Netralitas aktif harus dibarengi dengan inisiatif konkret dalam mediasi damai. Dunia Islam tidak boleh terjebak dalam rivalitas sektarian Sunni-Syiah yang memperparah ketegangan. Inilah saatnya negara-negara seperti Indonesia, Turki, dan Qatar memainkan peran sebagai juru damai dan suara moral.
Dunia tidak kekurangan senjata. Dunia kekurangan keberanian untuk berdialog dan membongkar struktur ketidakadilan yang melanggengkan kekerasan. Perang antara Iran dan Israel hanya akan menjadi pintu pembuka dari konflik-konflik baru yang akan memperluas luka geopolitik global. Jika tidak dihentikan, ini bukan hanya perang dua negara—ini akan menjadi perang yang mewarisi generasi kehancuran.
Menutup Jalan ke Neraka
Diplomasi, dialog antaragama, penguatan institusi internasional, dan tekanan publik global adalah jalan yang harus diperkuat. Dunia tidak boleh menyerah pada logika militerisme yang membutakan nurani. Sebab jika jalan damai tak diperjuangkan sekarang, dunia akan segera menyusuri jalan menuju neraka yang telah diperingatkan oleh sejarah.
Seperti pernah dikatakan Carl von Clausewitz, "Perang bukanlah tujuan akhir, melainkan alat yang digunakan oleh entitas politik untuk mencapai tujuannya. Jika tujuan tersebut tidak dapat dicapai melalui diplomasi atau cara-cara non-kekerasan lainnya, maka perang sesungguhnya mencerminkan kegagalan dari strategi politik awal yang telah ditempuh."
http://dlvr.it/TLXqY9
Juni 25, 2025
Redaksi
Tidak ada komentar