
NOIS.CO.ID Dalam interaksi sosial, ada orang-orang yang langsung terbuka dalam waktu singkat, bahkan terkadang memberikan terlalu banyak informasi pribadi kepada seseorang yang baru saja mereka temui.
Dalam psikologi, perilaku ini disebut sebagai oversharing, yaitu kecenderungan untuk membagikan detail pribadi secara berlebihan, terlalu cepat, atau tidak pada tempatnya.
Meskipun sering dianggap hanya sebagai bentuk ketidaksopanan atau kurangnya kesadaran sosial, ternyata perilaku ini sering kali berakar pada pengalaman-pengalaman tertentu di masa tumbuh kembang seseorang.
Dikutip dari Geediting pada Sabtu (21/6), terdapat 7 pengalaman yang umumnya dimiliki oleh orang-orang yang cenderung memberi terlalu banyak informasi dalam 10 menit pertama bertemu seseorang menurut psikologi:
1. Kurangnya Keamanan Emosional di Masa Kecil
Children who grow up in an environment where their emotional needs are often ignored, or when they don't have someone consistently listening to them, can grow up to be adults who strongly desire to be heard.
Ketika akhirnya mereka memiliki kesempatan berbicara, mereka cenderung “tumpah” tanpa batas.
Memberikan terlalu banyak informasi dalam waktu singkat menjadi cara tak sadar untuk mengejar validasi atau merasa diperhatikan.
2. Tumbuh dalam Keluarga dengan Sedikit Privasi
People who are raised in an environment where there is no privacy boundary — for example, a family that constantly interferes in each other's personal affairs — often struggle to understand healthy social boundaries.
Mereka mungkin tidak bisa membedakan informasi mana yang wajar dibagikan kepada orang baru dan mana yang sebaiknya disimpan untuk relasi yang sudah terbangun dengan kepercayaan.
3. Mengalami Penolakan atau Isolasi Sosial di Masa Remaja
Someone who has experienced loneliness, being ostracized, or rejection by peer groups during their teenage years might develop oversharing behavior as a quick way to build connections.
Mereka berpikir bahwa dengan cepat membagikan cerita pribadi, mereka bisa lebih mudah diterima.
Namun, dalam praktiknya, ini sering menimbulkan kebalikannya: orang lain justru merasa tidak nyaman.
4. Tinggal di Lingkungan yang Penuh Konflik
Lingkungan masa kecil yang penuh konflik — seperti orang tua yang sering bertengkar, perceraian, atau suasana rumah yang tidak stabil — bisa membuat seseorang terbiasa ‘curhat’ ke siapa pun yang tersedia.
Mereka mungkin tidak pernah tahu kapan kesempatan untuk berbicara akan hilang, sehingga saat diberi waktu, mereka mengungkapkan semuanya sekaligus.
Polanya berlanjut hingga dewasa.
5. Kekurangan Pendidikan Emosional Sejak Dini
Banyak orang dewasa yang tidak diajarkan sejak kecil bagaimana mengekspresikan emosi dengan benar.
Mereka tidak dibimbing untuk mengenali, memilah, dan mengelola apa yang boleh dibagikan dan kepada siapa.
Akibatnya, ketika mereka mencoba membuka diri, mereka melakukannya secara berlebihan, tanpa menyadari bahwa itu dapat membuat orang lain merasa kewalahan atau tidak nyaman.
6. Trauma yang Belum Terselesaikan
Beberapa orang membawa luka emosional yang belum sembuh dari masa lalu.
Dalam psikologi, trauma yang tidak diproses bisa muncul dalam bentuk perilaku yang ekstrem, termasuk oversharing.
For them, sharing personal stories spontaneously becomes a kind of catharsis, even without considering social context or the closeness of the relationship.
7. Pola Pengasuhan yang Mendorong Ketergantungan Emosional
Jika seseorang tumbuh bersama orang tua atau pengasuh yang terlalu protektif atau bergantung secara emosional pada anak, maka anak dapat belajar bahwa nilai dirinya ditentukan oleh seberapa banyak ia terbuka dan “terhubung” dengan orang lain dengan cepat.
Pada masa dewasa, mereka dapat terus mengejar pola keterhubungan ini dengan orang-orang baru, sehingga mereka tidak ragu untuk membagikan hal-hal intim di awal perkenalan.
Oversharing Bukan Sekadar Masalah Sosial
Membuka diri adalah bagian penting dari membangun hubungan, tetapi dalam psikologi, intimasi membutuhkan waktu dan saling kepercayaan.
Saat seseorang terlalu terbuka dalam waktu singkat, hal itu sering kali merupakan respons psikologis terhadap luka masa lalu — bukan karena mereka tidak sopan atau haus perhatian.
Banyak dari mereka yang melakukan oversharing merasa kesepian atau berusaha keras untuk terlihat “normal” dalam relasi sosial.
Namun sayangnya, perilaku ini sering disalahpahami oleh orang lain sebagai bentuk keanehan atau ketidakdewasaan.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Jika Anda menyadari bahwa Anda termasuk orang yang cenderung oversharing, tidak perlu merasa malu.
Itu adalah respons yang terbentuk dari pengalaman masa lalu, dan bisa diubah secara perlahan.
Berikut beberapa langkah yang bisa membantu:
Refleksi Diri: Sadari pola ini dan telusuri asal-usul emosionalnya. Apakah Anda merasa butuh diperhatikan? Apakah Anda takut kehilangan koneksi jika tidak segera terbuka?
Pelajari Batasan Sehat: Tidak semua orang layak atau perlu tahu semua bagian dari hidup Anda. Belajar memilah mana informasi yang bisa dibagikan dalam konteks awal perkenalan.
Terapi Psikologis: Seorang terapis bisa membantu Anda memproses pengalaman masa lalu dan membangun keterampilan komunikasi yang lebih sehat dan efektif.
Perhatikan Reaksi Lawan Bicara: Lihat ekspresi dan bahasa tubuh mereka. Jika mereka tampak bingung atau tidak nyaman, mungkin saatnya menghentikan dan menyimpan cerita untuk nanti.
Penutup
Setiap perilaku dalam diri kita, termasuk kecenderungan untuk memberikan terlalu banyak informasi dalam waktu singkat, hampir selalu memiliki akar dari pengalaman masa lalu.
Dalam kasus ini, berbagai bentuk ketidakamanan, luka emosional, dan pola pengasuhan memainkan peran besar.
Dengan memahami akar psikologis dari oversharing, kita bisa lebih berbelas kasih pada diri sendiri — dan orang lain — serta mulai membangun hubungan yang lebih sehat, seimbang, dan penuh empati.
Karena pada akhirnya, membuka diri memang penting, tetapi melakukannya dengan tepat waktu dan tempat jauh lebih berarti.
***
Tidak ada komentar