
Oleh: Rizki Rahayu Fitri *)
TAKENGON hari ini berdiri di atas dua kekuatan, potensi dan bahaya.
Di satu sisi, ia adalah kota yang menawan. Kaya alam, sejuk udaranya, kuat budayanya, dan ramah manusianya.
Namun di sisi lain, ada luka ekologis yang mulai terbuka, mengalir dari tepi Danau Lut Tawar ke dalam kesadaran kita, reklamasi yang diam-diam semakin ganas, semakin rakus, dan semakin tidak terkendali.
Danau Lut Tawar bukan hanya sekadar pemandangan yang indah, bukan pula hanya objek wisata biasa.
Dia adalah jantung kota Takengon, sumber air, sumber ikan, sumber ekonomi, dan sumber harga diri masyarakat Gayo.
Dalam adat, danau ini disebut sebagai negeri air yang menyatu dengan sejarah dan spiritualitas orang Gayo. Maka ketika danau mulai diuruk, dipenuhi homestay, kafe, restoran, tambak dan limbah, itu artinya kita sedang menebang akar hidup kita sendiri.
Kami tidak anti kemajuan. Kami tidak menolak pariwisata. Tapi kami harus kritis dan waspada terhadap kemajuan yang salah urus dan pariwisata yang rakus.
Reklamasi yang terjadi di sepanjang sempadan Danau Lut Tawar hari ini adalah contoh pembangunan tanpa arah dan tanpa batas.
Tidak ada studi lingkungan yang layak, tidak ada kontrol dari pemerintah daerah, dan yang lebih parah, tidak ada suara rakyat yang didengar.
Semuanya seolah berjalan atas nama investasi dan penataan kota, padahal sesungguhnya kita sedang menyaksikan pembunuhan perlahan terhadap danau dan ekosistemnya.
Ikan Depik semakin sulit ditemukan. Tepi danau semakin sempit, tertutup beton dan bangunan liar. Sampah rumah tangga, limbah kafe, dan limbah wisatawan masuk ke danau tanpa saringan.
Anak-anak muda kehilangan tempat bermain, warga kehilangan tempat memancing, dan
nelayan kehilangan hasil tangkapan.
Maka yang diuntungkan mungkin hanya segelintir pemilik modal, dan beberapa elite yang dapat bagian dari pembiaran ini.
Reklamasi bisa saja menjadi bagian dari perencanaan kota tapi hanya jika dilakukan dengan tata ruang yang jelas, izin yang sah, Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) yang ketat, dan keterlibatan publik yang utuh.
Sayangnya, hari ini semua itu diabaikan.
Reklamasi bukanlah pembangunan, ia adalah perampokan ruang hidup dengan dalih pertumbuhan.
Ini disebut oleh para pakar sebagai ekosida, pembunuhan terhadap ekosistem secara sistemik dan perlahan.
Takengon memiliki peluang besar untuk menjadi kota madya. Dengan pertumbuhan jumlah penduduk, ekonomi yang berkembang dari sektor pariwisata dan pertanian, serta sumber daya manusia (SDM) yang unggul, maka cita-cita menjadi kota mandiri dan maju sangat masuk akal.
Namun, mari jujur bertanya, apakah kota itu masih akan hidup kalau danau yang menopang semuanya mati?
Wisata Takengon berkembang karena keindahan danau. Jika airnya keruh, ikan-ikannya hilang, dan pesisirnya berbau limbah, siapa yang akan datang?, apa gunanya vila mewah dan dermaga indah kalau yang tersisa hanyalah air beracun?, pembangunan tanpa memperhatikan ekologi adalah ilusi.
Pertumbuhan ekonomi tanpa keberlanjutan adalah jalan buntu. Maka pemerintah daerah hari ini harus mengambil langkah-langkah yang berkelanjutan untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang bertanggung jawab dan ramah lingkungan.
memiliki tugas historis: meluruskan arah pembangunan, bukan membiarkannya liar dan merusak. Kita butuh langkah-langkah strategis dan berani:
Pertama, hentikan seluruh bentuk reklamasi liar di sempadan danau. Audit seluruh bangunan yang sudah berdiri: apakah izinnya sah, apakah ada amdal dan apakah sesuai zonasi sempadan. Jika tidak, maka harus dibongkar.
Kedua, perkuat peraturan daerah tentang kawasan lindung dan tata ruang sekitar danau. Sempadan danau bukan ruang bisnis, melainkan ruang konservasi.
Pemerintah harus hadir sebagai penjaga ruang publik, bukan jadi penonton atau pembuka jalan bagi investor rakus.
Ketiga, libatkan masyarakat dalam setiap kebijakan pengelolaan danau. Rakyat Takengon bukan penonton.
Mereka adalah pemilik sejarah, budaya, dan masa depan danau ini. Proses partisipatif harus menjadi fondasi pembangunan. Jangan biarkan mereka hanya menerima keputusan dari atas.
Keempat, merancang ulang konsep pariwisata Takengon berbasis ekowisata yang berkelanjutan. Homestay boleh, kafe boleh, tetapi harus ramah lingkungan, memiliki sistem manajemen limbah, dan tidak
merusak kawasan sempadan.
Pariwisata bukan soal membangun sebanyak-banyaknya bangunan, tapi soal menjaga keaslian alam agar wisata tetap hidup.
Dan lastly, instill ecological awareness back into all our hearts. Lakes are not inheritances to be sold, but trusts to be preserved. We can build cities, but not at the expense of the water sources and air we breathe every day.
Takengon saat ini berada di persimpangan jalan, antara akan menjadi kota mandiri yang maju dan beradab, atau menjadi kota yang mati perlahan-lahan karena membiarkan danau tercemar dan lingkungan rusak.
Pilihan ada di tangan kita rakyat, pemerintah, pemuda, tokoh adat, dan seluruh elemen masyarakat.
Danau Lut Tawar tidak bisa bicara, tapi kita bisa. Jangan tunggu sampai airnya kering dan udaranya sesak baru kita sadar.
Ketika danau mati, yang hilang bukan hanya pemandangan. Yang hilang adalah nyawa kota.
Takengon itu sendiri.(*)
*) Penulis adalah Mahasiswa Hukum asal Aceh.
KUPI SENYE adalah rubrik opini pembaca NOIS.CO.ID. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Tidak ada komentar