Beranda
Karma Digital dan Dosa Turunan di Era Smartphone
Redaksi
Juli 02, 2025

Karma Digital dan Dosa Turunan di Era Smartphone

Oleh: Rusydi Umar*)






In this highly advanced digital era, we often imagine that our online identity can be fully controlled: logging out of accounts,

log


keluar

, atau menghapus aplikasi. Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Salah satu contoh nyata datang dari sebuah aplikasi populer, TikTok.




Some users have reported complaints when using a new account on a phone that was previously used by another TikTok account. It turns out, the feature

hadiah

cannot be activated.




Pesan yang muncul pun tegas, "Silakan gunakan akun pertama yang terdaftar di perangkat ini." Meski aplikasi sudah dihapus dan di-

instal


l

Bahkan setelah diulang atau data telah dibersihkan, sistem TikTok tetap mengenali bahwa perangkat ini pernah terhubung dengan akun sebelumnya.




Fenomena ini menimbulkan pertanyaan. Apakah kita sedang menghadapi bentuk baru dari "karma digital"? Dalam arti, reputasi digital kini menempel pada perangkat keras, bukan hanya akun pribadi.





Tertempel pada perangkat





TikTok, seperti banyak aplikasi lain, mengembangkan sistem deteksi dan antisipasi kecurangan (

anti

-

penipuan

). Ia juga mencegah pengguna membuat banyak akun untuk memanfaatkan fitur tersebut.

hadiah

.




Salah satu caranya adalah melacak perangkat. Meskipun TikTok tidak secara gamblang menyebut parameter teknis yang dipakai, kemungkinan besar sistem mereka mencatat kombinasi informasi, seperti IMEI, alamat MAC, sidik jari perangkat (

perangkat


pengecekan sidik jari

), dan pola perilaku pengguna.




Dalam praktiknya, ini berarti sistem tetap mengingat "sejarah" dari perangkat yang kita pakai meskipun kita telah membuat akun baru. Ibarat seseorang yang membeli rumah bekas, tetapi rumah itu ternyata pernah digunakan untuk kejahatan. Maka, penghuni baru akan tetap diawasi lebih ketat. Begitulah kira-kira ilustrasi sederhana dari reputasi digital yang menempel pada ponsel (

telepon pintar

).






Perilaku terlebih dahulu



vs



identitas terlebih dahulu






Menariknya, pendekatan TikTok berbeda daripada media-media sosial lain, seperti Instagram. TikTok lebih mementingkan

perilaku


pertama

, yaitu perilaku pengguna di perangkat tertentu, sebelum mempertimbangkan identitas akun. Sementara itu, Instagram cenderung menerapkan

identitas


pertama

, yaitu verifikasi identitas seperti nomor telepon,

surel,

dan autentikasi dua langkah sebagai pintu utama.




Ini menjelaskan mengapa TikTok dapat memberikan sanksi atau membatasi fitur reward hanya karena perangkat "pernah digunakan" untuk akun lain. Bahkan, jika pengguna saat ini tidak mengetahui hal tersebut sama sekali.




Di sisi lain, Instagram dapat memindahkan identitas pengguna dari satu perangkat ke perangkat lain tanpa membawa reputasi buruk dari perangkat sebelumnya.





Etika dan keadilan dalam dunia digital





Masalah ini membuka ruang diskusi tentang etika dan keadilan digital. Apakah adil jika seseorang yang membeli

telepon pintar

bekas harus menanggung "dosa digital" pemilik sebelumnya? Bagaimana jika anak menggunakan ponsel orang tua (atau sebaliknya), lalu akses terhadap fitur tertentu ditolak karena reputasi masa lalu?




Dalam Islam, prinsip keadilan sangat dijunjung tinggi. Setiap orang bertanggung jawab atas amalnya sendiri.




"Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain" (QS al-An’am: 164).




Prinsip ini juga seharusnya tercermin dalam teknologi digital yang kita kembangkan. Tidak semestinya sistem menghukum pengguna baru karena tindakan pengguna lama hanya karena mereka menggunakan perangkat yang sama.




Namun, tentu saja dari sisi pengembang, pendekatan ini merupakan bentuk kehati-hatian agar sistem tidak dieksploitasi. Sistem

hadiah

dapat dimanipulasi dengan membuat banyak akun di satu perangkat sehingga pelacakan perangkat menjadi "jalan tengah" antara keamanan dan kemudahan.





Belajar dari kasus TikTok





Kasus TikTok ini memberi kita pelajaran penting mengenai bagaimana data dan sistem bekerja di balik layar.

Ponsel pintar

bukan lagi benda netral; ia menyimpan sejarah, jejak digital, bahkan 'reputasi' yang dapat memengaruhi pengalaman digital penggunanya.




Dalam konteks ini, terjadi pergeseran. Yang dinilai bukan hanya siapa kita, tapi dari mana kita mengakses.




Does this mean we must always buy

telepon pintar

baru agar bebas dari karma digital? Tentu saja tidak.




Namun, penting bagi pengguna untuk sadar bahwa rekam jejak digital bisa melekat bukan hanya pada akun, tetapi juga perangkat. Di sisi lain, pengembang aplikasi juga perlu terus meninjau pendekatan yang digunakan agar tetap adil dan transparan.





Penutup





"Karma digital dan dosa turunan" mungkin terdengar seperti istilah hiperbolik. Namun, fenomena ini nyata dan makin relevan seiring berkembangnya algoritma dan teknologi pelacakan.




Kita sedang hidup di zaman di mana jejak perilaku digital lebih berbicara daripada sekadar nama atau identitas akun.




Oleh karena itu, penting bagi kita semua—baik pengguna, pengembang, maupun pembuat kebijakan—untuk memikirkan kembali bagaimana keadilan dan etika diterapkan di dunia digital.




Karena, di era algoritma, siapa yang dinilai dan apa yang dihakimi bukan lagi soal hitam-putih, melainkan jejak yang tertinggal meski sudah berganti tangan.






*) Rusydi Umar PhD adalah dosen Program Studi S3 Informatika Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta


http://dlvr.it/TLglXg

Penulis blog

Tidak ada komentar