
Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Firman Hidayat mengungkapkan bahwa praktik perjudian online memotong sekitar 0,3% dari potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Jika pertumbuhan ekonomi tahun lalu 5%, seharusnya bisa mencapai 5,3% tanpa perjudian online. Angka 0,3% ini sangat berharga untuk target Presiden," katanya.
Uang masyarakat yang seharusnya berputar di sektor konsumsi dan investasi justru dibuang percuma, sebagian besar malah mengalir ke luar negeri.
Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan bahwa hingga Kuartal I 2025, nilai perputaran dana perjudian online telah melebihi angka Rp 927 triliun. DEN mencatat bahwa 70% dari dana tersebut mengalir ke luar negeri, sehingga menghilangkan efek pengganda bagi ekonomi nasional.
Hal yang serupa terjadi di negara-negara lain. Hong Kong kehilangan potensi pajak hingga HK\$9,4 miliar per tahun akibat perjudian ilegal, sementara Afrika Selatan kehilangan sekitar R110 juta.
Lebih memprihatinkan lagi, maraknya judi online tidak lepas dari maraknya praktik jual beli rekening. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengungkapkan bahwa dari 1,5 juta rekening yang ditelusuri, 150 ribu merupakan rekening nominee, dan sebagian besar terindikasi sebagai hasil jual beli. Rekening-rekening ini digunakan untuk menyamarkan transaksi ilegal dan memperlancar bisnis judi yang kini merajalela.
Ketua Umum Perbanas Hery Gunardi menambahkan bahwa bank telah memperketat sistem pengawasan terhadap rekening dormant sesuai regulasi OJK. Tindakan seperti pembekuan sementara, pembatasan transaksi, hingga penutupan rekening dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan.
Bahkan, PPATK telah menerapkan kebijakan penangguhan sementara terhadap rekening yang mencurigakan, dan hasilnya cukup signifikan: transaksi perjudian online turun 72% pada Semester I 2025 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Namun, dampak perjudian online tidak hanya menargetkan sektor ekonomi dan keuangan. Hasil penelitian Katadata Insight Center (KIC) menunjukkan bahwa mayoritas pelaku judi berasal dari kalangan menengah ke bawah. Banyak dari mereka mengalami gangguan mental hingga keretakan rumah tangga. Data BPS bahkan mencatat kenaikan 83,8% kasus perceraian akibat perjudian pada 2024, dengan lebih dari 2.800 perkara.
DEN juga mengingatkan bahwa perjudian online bisa menjadi pintu masuk tindak kriminal. Studi di Amerika Serikat menemukan bahwa para pemain muda yang mengalami kerugian sebesar 500-1.000 dolar memiliki potensi 15% melakukan kejahatan, dan angka ini melonjak menjadi 27,5% jika kerugiannya lebih besar.
"Untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, kita harus memastikan rakyat tidak terjebak dalam masalah sosial dan mental seperti ini," tegas Firman Hidayat.
Dengan kompleksitas modus kejahatan digital yang semakin canggih—dari penggunaan IP palsu, text crawler, hingga pencarian gambar—Direktur Kemenkominfo Teguh Arifiyadi menekankan pentingnya sinergi lintas sektor.
Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, lembaga penegak hukum, dan masyarakat adalah kunci utama untuk menghentikan laju kejahatan finansial berbasis teknologi ini.
Fransiska Oei dari Perbanas menyatakan bahwa industri perbankan telah memperkuat sistem verifikasi dan bekerja sama dengan Dukcapil, AHU, dan Ditjen Pajak.
"Penipu sangat dinamis. Strategi bank juga harus fleksibel dan adaptif," katanya. Ia menegaskan pentingnya pendidikan dan literasi digital sebagai benteng pertama agar masyarakat tidak mudah terjebak dalam kejahatan finansial.
Dengan sinergi nasional yang kuat, Indonesia memiliki peluang untuk mengurangi kerugian akibat perjudian online dan membangun sistem keuangan yang lebih tangguh. Seperti yang dikatakan Ivan Yustiavandana,
"PPATK tidak bisa sendirian. Semua lembaga harus bergerak bersama. Kuncinya adalah kolaborasi."***
Tidak ada komentar