
PESANKU.CO.ID- Keraton Kasunanan Surakarta kembali diguncang krisis suksesi setelah wafatnya Pakubuwono XIII. Belum genap dua pekan sejak raja tersebut meninggal, dua putra mendiang, yaitu KGPH Hangabehi dan Gusti Purboyo muncul sebagai kandidat kuat penerus tahta, memicu dualisme kepemimpinan dan memanasnya suasana internal keraton. Persoalan ini kembali mengungkit sejarah panjang perselisihan struktural, adat, serta garis keturunan dalam keluarga Kasunanan Surakarta.
Penetapan KGPH Hangabehi oleh sebagian kerabat sebagai calon Pakubuwono XIV memicu perdebatan tajam.
Penunjukannya dianggap tidak sah oleh pihak yang mendukung Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Hamangkunegara, lebih dikenal sebagai Gusti Purboyo, yang lebih dahulu mengukuhkan diri sebagai raja pengganti ayahnya.
Perbedaan sikap keluarga, dukungan internal kerabat, dan klaim adat yang bertentangan membuat situasi semakin rumit.
Di balik konflik politik ini, terdapat kisah yang lebih mendasar, asal-usul keluarga dan perbedaan garis ibu antara kedua tokoh.
Keduanya memang putra kandung mendiang Sri Susuhunan Pakubuwono XIII, tetapi lahir dari dua ibu yang berbeda, sehingga menimbulkan perbedaan legitimasi menurut sebagian pihak.
Dalam tradisi keraton, status seorang ibu, apakah sebagai permaisuri atau selir, sering menjadi faktor penting dalam menentukan calon raja.
Inilah yang membuat persaingan untuk tahta kali ini kembali menyentuh masalah garis keturunan dan hierarki dalam lingkungan kerajaan.
Suasana keraton semakin memanas setelah Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Timoer Rumbai, putri sulung PB XIII, secara terbuka menolak penobatan Hangabehi.
Ia menyebut adiknya telah "mengkhianati kesepakatan keluarga" dan menuduhnya tidak hadir dalam pertemuan yang sebelumnya diadakan bersama keluarga besar serta perwakilan pemerintah daerah.
Di sisi lain, Gusti Kanjeng Ratu Wandansari, atau Gusti Mung, menilai kubu Purboyo telah melakukan pelanggaran adat saat melakukan deklarasi raja.
Kondisi ini membuat krisis suksesi Keraton Surakarta kembali menjadi perhatian publik, terutama ketika kedua calon sama-sama memiliki legitimasi yang berbeda, satu mengandalkan keputusan internal sebagian kerabat, dan yang lainnya mengklaim jalur adat serta restu yang lebih formal.
Untuk memahami akar masalahnya, perlu melihat lebih jauh siapa sebenarnya Hangabehi dan Purboyo, serta bagaimana latar belakang keluarga mereka membentuk dinamika persaingan kekuasaan hari ini.
Latar Belakang KGPH Hangabehi (Gusti Mangkubumi)
KGPH Hangabehi adalah salah satu putra Pakubuwono XIII yang telah lama aktif dalam struktur internal keraton.
Beberapa tahun terakhir, ia menjabat sebagai Gusti Mangkubumi, sebuah posisi tinggi yang dalam tradisi Jawa sering dianggap sebagai "putra mahkota fungsional" atau pengawas administrasi dan adat keraton.
Dari segi garis keturunan, Hangabehi adalah putra Pakubuwono XIII dari KRAy Winari Sri Haryani, istri kedua PB XIII yang tidak memiliki status sebagai permaisuri utama.
Pernikahan PB XIII dengan Winari berakhir sebelum PB XIII naik takhta. Karena Winari tidak menjadi istri setelah PB XIII menjadi raja, ia tidak ditetapkan sebagai permaisuri (Ratu Permaisuriresmi ketika PB XIII berkuasa, sehingga posisinya dalam garis suksesi sering menjadi perdebatan.
Dukungan terhadap putra tertua Pakubowono XIII ini banyak datang dari kelompok di dalam keraton yang menilai bahwa ia lebih matang secara struktural dan telah memegang jabatan tradisional yang menjadi jalan menuju takhta.
Faktor kedekatan dengan lingkaran budaya dan adat juga menjadi salah satu modal legitimasi yang membuat kubu ini berani menyebutnya sebagai penerus sah.
Latar Belakang Gusti Purboyo (KGPAA Hamangkunegara)
Gusti Purboyo adalah salah satu putra PB XIII yang sebelumnya telah menyandang gelar KGPAA Hamangkunegara, gelar utama yang secara tradisi diberikan kepada putra mahkota.
Gelar ini menunjuk pada peran sebagai calon raja, sehingga bagi banyak kalangan, Purboyo adalah kandidat yang paling jelas untuk menduduki posisi Pakubuwono XIV.
Purboyo lahir dari GKR Pakubuwana Pradapaningsih atau KRAy Asih Winarni, istri resmi PB XIII, yang menjadikan Purboyo dianggap sebagai pewaris dengan legitimasi kuat dalam tradisi Keraton Surakarta.
Ia didukung oleh kelompok yang memprioritaskan "jalur gelar" dan garis keturunan langsung dari calon permaisuri, Purboyo dianggap sebagai pewaris sah.
Ia juga mengklaim bahwa telah ada kesepakatan keluarga yang menetapkannya sebagai calon pengganti ayah sejak lama.
Inilah yang membuat kubu mereka menolak penobatan Hangabehi dan menuduh pihak lain melanggar adat keraton.
Perbedaan ibu ini memicu perdebatan mengenai status keutamaan garis keturunan dan hak atas tahta, mengingat posisi seorang ibu dalam struktur keraton sangat menentukan legitimasi trah pewaris.
Inilah yang membuat pertarungan antara Hangabehi dan Purboyo bukan sekadar perselisihan politik, tetapi juga menyentuh sistem adat dan hirarki rumah tangga keraton yang telah berjalan ratusan tahun.***
Redaksi
Tidak ada komentar