NOIS.CO.ID Keluarga Juliana Marins mengambil tindakan hukum dengan meminta autopsi ulang di Brasil.
Begitu pula Kantor Jaksa Agung (AGU) Brasil menjelaskan keinginan pihak keluarga sebagaimana dikutip dari CNN Brasil, Selasa (1/7/2025).
Penuntut umum mengatakan bahwa mereka akan secara sukarela memenuhi permintaan tersebut.
Permintaan tersebut diajukan oleh Kantor Pembela Umum Federal (DPF) melalui pihak keluarga.
AGU mengirimkannya kepada Pengadilan Federal ke-7 di NiterĂ³i, Brasil.
Jenazah Juliana Marins akan menjalani pemeriksaan baru segera setelah tiba di Brasil, yang dijadwalkan tiba hari ini atau besok.
“Mengingat sifat kemanusiaan dan isi tuntutan tersebut, kami memahami bahwa sikap yang paling tepat adalah bekerja sama sehingga tindakan yang diminta dapat dilaksanakan dengan cepat dan efektif,” kata Jaksa Wilayah Uni untuk Wilayah ke-2, Glaucio de Lima e Castro.
Information regarding the request was released by the victim's sister, Mariana Marins, through social media.
Juliana Marins (27 tahun), warga asli NiterĂ³i Brasil, meninggal setelah terjatuh sekitar 300 meter saat mendaki Gunung Rinjani di Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada Jumat (20/6/2026) lalu.
Kematiannya memicu kemarahan warga Brasil.
Alasannya proses evakuasi jenazah memakan waktu hampir empat hari.
Muncul tuduhan bahwa proses evakuasi lambat dan terkesan ada pembiaran.
Padahal lokasi jatuhnya Juliana Marins sangat ekstrem dengan kabut tebal, bebatuan licin, dan medan terjal.
Oleh karena itu, sangat mustahil menggunakan helikopter untuk mengevakuasi Juliana Marins secara langsung.
Di media sosial Brasil muncul banyak desakan untuk dilakukannya autopsi ulang terhadap Juliana Marins.
Otopsi jenazah sebenarnya telah dilakukan di RSUD Bali Mandara pada Kamis (26/6/2025) pukul 22.00 WITA.
Dokter forensik RSUD Bali Mandara, dr Ida Bagus Putu Alit, DMF. Sp.F mengatakan hasil autopsi memperlihatkan Juliana Marins meninggal bukan akibat hipotermia saat jatuh di jurang.
Berdasarkan hasil autopsi, Juliana Marins tewas akibat kekerasan tumpul hampir di seluruh tubuhnya.
Hasil pemeriksaan menunjukkan luka lecet geser di hampir seluruh tubuh korban, terutama di punggung, kepala, dan anggota gerak.
Luka ini menunjukkan bahwa tubuh korban terbentur benda-benda tumpul saat jatuh.
"Kami juga menemukan banyak patah tulang, terutama di bagian dada, punggung, dan paha. Dari kerusakan itu terjadi perdarahan hebat dan kerusakan organ-organ dalam," ujar dr Alit.
Menurutnya, luka-luka tersebut merupakan penyebab langsung kematian Juliana.
Kesimpulan awal adalah korban meninggal akibat kekerasan tumpul yang menyebabkan kerusakan organ vital dan pendarahan masif, terutama di daerah dada dan perut.
“Kematian terjadi dalam waktu singkat, diperkirakan paling lama 20 menit setelah korban mengalami luka,” jelasnya.
Dokter Alit juga menyampaikan bahwa hipotermia bukan penyebab kematian, karena tidak ada tanda-tanda spesifik seperti pengecilan limpa.
Namun, ia menambahkan bahwa pemeriksaan cairan bola mata tidak dapat dilakukan untuk memastikan hipotermia, karena jenazah sudah dalam keadaan dingin dan disimpan di dalam freezer.
"Secara umum, pola luka dan sebarannya konsisten dengan korban yang jatuh dari ketinggian. Tidak ada indikasi korban meninggal dalam waktu lama setelah luka terjadi," katanya.
Ia menekankan bahwa meskipun kesimpulan sementara mengarah ke kekerasan tumpul sebagai penyebab kematian, autopsi belum sepenuhnya lengkap karena masih menunggu hasil pemeriksaan toksikologi.
Saat diperiksa, kondisi jenazah masih utuh.
Tanda-tanda lebam dan kekakuan tubuh menunjukkan kematian terjadi 12–24 jam sebelum autopsi dilakukan, sesuai dengan standar forensik mayat yang telah dibekukan.
Tangkapan layar dari akun Instagram @ajulianamarins
AUTOPSI JULIANA – Jenazah Juliana Marins yang telah diautopsi di RSDU Bali Mandara akan dipulangkan ke Brasil. Namun demikian pihak keluarga akan melakukan autopsi ulang di Brasil.
Redaksi
Tidak ada komentar