Beranda
NEWS
Opini: Akar Kelelahan Eksistensial
Redaksi
Juli 08, 2025

Opini: Akar Kelelahan Eksistensial

Opini: Akar Kelelahan Eksistensial

Oleh: Melki Deni, S.Fil

Mahasiswa Teologi di Universidad Pontificia Comillas, Madrid, Spanyol.

NOIS.CO.IDMasyarakat kontemporer menghadapi fenomena yang telah memengaruhi sebagian besar penduduknya, yaitu kelelahan kronis: tidak hanya tubuh fisik, psikologis, mental, emosional, spiritual, tetapi juga kelelahan eksistensial.

Ketidakhadiran eksistensial menimbulkan luka eksistensial. Kehadiran masyarakat modern dikelilingi oleh kelelahan demi kelelahan mulai dari bangun pagi hingga tidur malam.

Kelelahan berlebihan terlihat dalam pengalaman perang yang berkepanjangan, kelaparan, kemiskinan (pemiskinan struktural), pekerjaan, profesi, hubungan dalam keluarga, politik transisi secara sistematis, kebudayaan yang menekan masyarakat adat, tuntutan administratif dari agama, biaya pendidikan yang mahal, serta ketidakmampuan mengatur, mengendalikan, dan merekonstruksi proyek teknologi diri.

Kelelahan berlebihan disebabkan oleh obat-obatan, psikis, kehilangan gambaran diri, penolakan, hidup yang bertentangan dengan ritme yang normal, pola hidup tidak teratur, kehilangan harapan dan gambaran masa depan;

Perubahan dan ketidakpastian yang secara sistematis diciptakan oleh rezim penguasa dan investor multinasional, terjebak dalam pemahaman bahwa kehidupan dikendalikan oleh nasib, pragmatisme, dan relativisme, serta darurat kontrol sosial yang berlebihan.

Byung-Chul Han, dalam karyanya La Sociedad del Cansancio (2010), menjelaskan bagaimana akselerasi pengejaran produktivitas dan tuntutan terus-menerus untuk merealisasikan diri, yang didorong oleh teknologi dan kapitalisme, telah menciptakan masyarakat di mana hiperaktivitas dan multitasking menjadi norma baru.

Byung-Chul Han mengatakan bahwa meskipun masyarakat modern tampak bebas, kita justru terjebak dalam siklus kinerja, yang menyebabkan kelelahan yang memengaruhi kesehatan mental, hubungan sosial kita, dan cara kita berada.

Michel Foucault memandang teknologi diri sebagai cara seseorang bertindak atas dirinya sendiri, menentukan dirinya sendiri secara etis, dan dengan demikian membebaskan dirinya dari teknik dominasi asing.

Teknologi diri tersebut merupakan "praktik-praktik yang masuk akal dan sukarela dengan mana manusia tidak hanya menetapkan aturan perilaku, tetapi juga berusaha mengubah diri mereka sendiri, untuk memodifikasi keberadaan mereka yang tunggal dan menjadikan hidup mereka sebagai karya yang menyajikan nilai-nilai estetika tertentu serta merespons kriteria gaya tertentu."

Foucault gagal menyadari bahwa teknologi diri mengandung rasa kebebasan, dan dengan demikian terintegrasi dalam teknik kekuasaan neoliberal. Manusia yang bebas memutuskan, bertindak, dan menentukan dirinya sendiri, menjadikan kebebasannya sebagai alat untuk "eksploitasi diri".

"Wiraswasta itu sendiri" Foucault sejalan dengan "Subjek Eksploitasi Diri" Byung-Chul Han.

Kebebasan yang melekat dalam teknologi diri adalah dukungan kaku bagi reproduksi kekuasaan neoliberal.

Mereka menjadi pengusaha mereka sendiri. Bagi Byung-Chul Han (2017,13), "Pemaksaan yang dilakukan oleh diri sendiri lebih berbahaya daripada pemaksaan yang dilakukan oleh orang lain, karena tidak ada perlawanan terhadap diri sendiri yang mungkin dilakukan."

Menurut Byung-Chul Han (2014, 31), menentukan diri sendiri merupakan sebuah "paksaan diri", kebebasan menentukan diri sendiri menjebak subjek dalam eksploitasi diri, subjek tidak bebas dari dirinya sendiri, ia tentu saja tunduk pada dirinya sendiri, dan dengan demikian setiap penundukan eksternal hilang.

Positivitas kekuatan psiko mendorong eksploitasi diri. "Psikopolitik neoliberal didominasi oleh hal-hal positif. Alih-alih beroperasi dengan ancaman, ia beroperasi dengan stimulus positif."

Jika dilihat dari sudut pandang ini, kebebasan yang dicari oleh individu sebagai "wirausaha bagi dirinya sendiri" merupakan dasar yang mendukung dominasi neoliberal.

Itulah sebabnya Byung-Chul Han (2014, 8) menganggap "kebebasan" sebagai sebuah "ilusi". Kebebasan menjadi naif. "Kebebasan individu adalah perbudakan."

Teknik politik emansipasi yang diperkenalkan Foucault ketika ia mengusulkan "teknologi diri" dirancang berdasarkan ketaatan eksternal yang ditentang oleh seseorang, terutama dengan menjadi dirinya sendiri, yaitu dengan menolak teknik-teknik kekuasaan yang diterapkan secara sosial kepadanya.

Sama sekali tidak tertarik pada penilaian dan penghakiman yang bersifat konsensual.

"Teknologi diri" yang menjadikan subjek sebagai "proyek bebas" kini menjadi mesin penggerak kekuatan psikis.

Dalam pikiran Byung-Chul Han (2014, 24): "Foucault tidak menyadari bahwa rezim dominasi Neoliberal sepenuhnya memonopoli teknologi diri, atau bahwa optimasi diri yang terus-menerus, sebagai teknik diri Neoliberal, hanyalah bentuk dominasi dan eksploitasi yang efisien."

Subjek saat ini hidup dalam perang tanpa akhir dengan dirinya sendiri. Dengan memaksakan diri menjadi dirinya sendiri, perintah autentik, ia menjadi budak dari kebebasannya sendiri, mengeksploitasi dirinya sendiri dalam optimasi dan penampilannya sendiri.

Diri sebagai sebuah "proyek" yang mengklaim kebebasannya, yang menyatakan keyakinannya terhadap "teknologi diri", menurut Byung-Chul Han, mirip dengan mitos Prometheus.

Byung-Chul Han (2012, 9) menunjukkan bahwa "Pada kenyataannya, subjek kinerja yang percaya dirinya bebas, menemukan dirinya terikat seperti Prometheus."

Elang yang memakan hatinya yang terus berkembang adalah alter egonya, yang menjadi musuhnya.

Dari sudut pandang ini, hubungan antara Prometheus dan elang adalah hubungan dengan dirinya sendiri, hubungan eksploitasi diri [...] Inilah figur asli dari masyarakat yang kelelahan.

Byung-Chul Han menjelaskan bagaimana sepanjang sejarah, masyarakat telah bergerak dari model pengendalian yang represif ke bentuk penindasan yang lebih halus.

Dalam masyarakat yang disiplin, yang diwakili oleh lembaga-lembaga seperti penjara dan rumah sakit jiwa, pengendalian dilakukan melalui larangan, perintah, kekerasan, dan penindasan.

Namun, dalam masyarakat saat ini, kendali ini telah bermutasi menjadi apa yang disebut Byung-Chul Han sebagai masyarakat kinerja.

Dalam model baru ini, kita tidak dibatasi secara langsung, tetapi didorong untuk memaksimalkan produktivitas pribadi kita.

Janji akan kehidupan yang penuh dan sukses menjadi keharusan: tidak ada ruang untuk istirahat atau meditasi, karena kita harus selalu bergerak, mencari pencapaian berikutnya.

Paparan berlebihan terhadap stimulasi dan informasi, yang menjadi ciri khas era digital, telah mengubah rentang perhatian kita.

Multitasking, jauh dari sekadar kemajuan, telah menjadi teknik bertahan hidup yang memengaruhi kemampuan kita untuk berkonsentrasi secara mendalam.

Bentuk perhatian yang tersebar dan dangkal ini membawa kita lebih dekat pada perilaku hewan, di mana kita dipaksa untuk waspada terhadap stimulasi yang berlebihan, tetapi tanpa waktu untuk berhenti dan berpikir.

Hasilnya adalah masyarakat yang semakin lelah, di mana perhatian dan renungan sejati dikorbankan demi kinerja yang terus-menerus, yang menghilangkan hubungan mendalam kita dengan dunia dan orang lain.

Kita hampir kehilangan waktu untuk duduk bersenda gurau dan berbagi cerita dengan keluarga di rumah.

Ketika setiap orang menatap layar ponselnya masing-masing, retaknya hubungan dan normalisasi penderitaan semakin menjadi kebiasaan.

Mata lebih tertarik melihat dan menonton aliran informasi (teks, foto, video) daripada wajah keluarga.

Telinga lebih suka mendengarkan teriakan-teriakan digital daripada panggilan, ajakan, nasihat, dorongan, petuah, dan cerita dari mulut anggota keluarga.

Anak-anak lebih suka belajar menjadi pribadi yang baik, memasak, tidur yang sehat, dll., dari tutorial daripada pengajaran orang tua.

Orang tua lebih suka melihat perilaku anak-anak digital daripada anak-anaknya di dunianya.

Setiap anggota keluarga belajar dan ingin menerapkan apa yang mereka pelajari dari tutorial tersebut ke dalam rumah nyata mereka.

Namun, rumah nyata bukanlah ruang digital karena mentalitas, pikiran, emosi, dan spiritualitas penghuninya telah diotomatisasi dan didigitalisasi.

Rumah menjadi ruang digital, tempat penginapan para turis atau pelancong digital, yang bisa diusap dan dilewati begitu saja!

Meskipun eksploitasi berlebihan menjadi ciri masyarakat pertunjukan, Byung-Chul Han menawarkan perspektif resistensi.

Konsep kelelahan eksistensial yang ia tampilkan dalam karyanya bukanlah kelelahan yang melemahkan, tetapi justru ruang yang diperlukan untuk refleksi dan kontemplasi.

Dalam pengertian ini, Han menyarankan bahwa kelelahan dapat menjadi sumber pembebasan dan pembaruan, yang memungkinkan kita melepaskan diri dari tekanan konstan untuk menghasilkan dan mengakses jenis perhatian yang lebih dalam dan lebih bermakna.

Kelelahan ini bukan sekadar masalah tidak aktif, tetapi tindakan perlawanan terhadap tuntutan eksternal, kesempatan untuk menemukan kembali apa yang benar-benar penting: hubungan autentik dengan dunia dan dengan orang lain.

Kelelahan ekstrem yang menjadi ciri masyarakat kita tidak hanya memengaruhi individu tetapi juga memiliki konsekuensi sosial.

Ia berpendapat bahwa kelelahan dalam masyarakat modern telah menyebabkan fragmentasi hubungan antarmanusia.

Obsesi terhadap kinerja dan kesuksesan telah menciptakan budaya individualistik, di mana persaingan dan produktivitas mengalahkan kesejahteraan komunitas dan kolektif.

Orang-orang yang terjebak dalam persaingan terus-menerus untuk menjadi lebih efisien dan sukses telah terputus dari pengalaman sederhana dan mendalam yang menumbuhkan interaksi sosial sejati dan kedamaian batin.

Byung-Chul Han menekankan bahwa perlu dipertanyakan nilai-nilai yang telah membawa kita pada fenomena kelelahan global berlebihan ini.

Terlalu banyak hal negatif dan kurangnya ruang untuk kegiatan positif—seperti refleksi, meditasi, dan kontemplasi—adalah faktor kunci dalam menciptakan dunia yang didominasi oleh kelelahan berlebihan.

Meskipun kinerja dan produktivitas penting dalam masyarakat modern, tetapi betapa urgennya untuk menyadari betapa pentingnya istirahat, tidak aktif, dan perhatian penuh.

Byung-Chul Han mengusulkan bahwa untuk menjalani kehidupan yang lebih seimbang dan manusiawi, kita harus belajar menghargai kelelahan sebagai bentuk pemulihan, daripada terjebak dalam putaran kinerja tanpa akhir.

Karena itu kita melihat kelelahan tidak hanya sebagai momen untuk beristirahat, berhenti sejenak, tetapi juga untuk merefleksikan dan membayangkan masa depan.

Kelelahan menjadi momen melepaskan energi-energi negatif dan menimba kekuatan-kekuatan pemikiran (proyek hidup) baru.

Kelelahan tidak hanya dilihat sebagai ekspresi alami dari manusia, tetapi juga sebagai bentuk kendali atas hasrat dan dorongan dasar manusia yang ingin menjadi lebih dari ..., memiliki lebih dari ..., mendapatkan lebih dari ..., dan menguasai lebih dari ....

Tanpa kelelahan manusia tidak dapat menghentikan langkah, menjedakan diri, memejamkan mata, dan mengarahkan pandangan mata ke dalam diri.

Kegelapan eksistensial hanya dapat disembuhkan dengan menutup mata, berdialog dengan diri sendiri, mencari akar penyebab, dan mendengarkan suara hati.

Terlalu banyak melihat dan menangkap objek penglihatan serta meresapkan semua yang didengarkan akan memperparah keletihan eksistensial.

Siapa pun yang tekun menutup mata, tidak mudah terkepung oleh kelelahan eksistensial, baik yang timbul dari dalam ("wirausaha bagi dirinya sendiri") maupun dari luar teknologi diri yang menyebabkan subjek mengeksploitasi diri sendiri — autoeksploitasi.

Eksploitasi diri yang anti-refleksi, melihat diri, dan kritik diri, tetapi lebih cenderung ke arah sedikit narsisme.

Seperti zombie, semakin banyak darah yang diminum, semakin hidup ia, dan narsisme justru berkembang biak secara akut ketika semakin banyak korban yang dieksploitasi dan diarahkannya. (*)

Teruskan berita NOIS.CO.ID diBerita Google

Penulis blog

Tidak ada komentar