
ADAkesepakatan diam yang tidak tertulis dalam sejarah pasca-reformasi Indonesia: bahwa Papua adalah arena kompromi, bukan keadilan.
Semua proyek politik yang dirancang untuk mengatasi separatisme, memperbaiki ketimpangan, dan memperkuat integrasi nasional, pada akhirnya hanya mencerminkan struktur kekuasaan lama dalam kemasan baru.
Otonomi khusus, sebagai ikon rekonsiliasi formal negara terhadap Papua, telah berubah dari instrumen keadilan distributif menjadi instrumen konsolidasi elite.
Ini bukan hanya tentang pelaksanaan yang korup atau infrastruktur yang terbengkalai, ini tentang bagaimana negara membingkai Papua sebagai medan tawar-menawar antara aktor politik yang memiliki kepentingan bersama atas sumber daya.
Ketika konsep otonomi ditawarkan sebagai jalan tengah, pada hakikatnya ia telah dikunci dalam paradigma kontrol, bukan dalam kerangka pembebasan.
Di banyak literatur mengenai elit politik di negara pasca-otoritarian, terdapat asumsi bahwa liberalisasi politik akan membuka ruang bagi desentralisasi kekuasaan dan peningkatan kapasitas lokal.
Namun di Indonesia, transisi tersebut bersifat tidak linear. Desentralisasi memang terjadi, tetapi bukan untuk mendistribusikan kekuasaan secara vertikal kepada rakyat, melainkan secara lateral kepada jaringan elite lokal yang dengan cepat belajar bermain di orbit kekuasaan pusat. Papua adalah studi kasus paling ekstrem dari situasi ini.
Elit lokal yang dahulu dimarjinalkan pada masa sentralistik Soeharto kini mendapatkan ruang. Namun ruang tersebut tidak digunakan untuk menyusun kembali struktur sosial-ekonomi, melainkan untuk memperluas ruang negosiasi terhadap pemerintah pusat demi mempertahankan akses eksklusif terhadap rente sumber daya.
Mereka tidak membangun institusi akar rumput, tetapi justru membentuk oligarki baru yang beroperasi di bawah bayang-bayang struktur lama. Dalam hubungan seperti ini, masyarakat hanya menjadi pelengkap dalam teks undang-undang, tidak lebih.
Penting dicatat bahwa negosiasi awal otonomi khusus tidak dibangun atas dasar kontrak sosial yang deliberatif.
Ia dibentuk dalam atmosfer krisis legitimasi negara pasca-1998, ketika sentimen pemisahan diri di Papua mencapai intensitas tinggi. Dalam kondisi pusat yang lemah, elite nasional memilih pragmatisme sebagai respons.
Elit lokal Papua, membaca peluang ini, memasuki ruang-ruang negosiasi bukan sebagai aktor politik rakyat, tetapi sebagai konsorsium pembagi kekuasaan baru. Maka lahirlah kebijakan yang secara teks progresif, namun secara struktural rapuh.
Dalam banyak hal, otonomi menjadi konsesi politik, bukan transformasi institusional. Bahkan, dalam praktiknya, ia menjadi alat legalisasi kontrol dari atas ke bawah, tanpa perubahan mendasar dalam distribusi kekuasaan yang sebenarnya.
Kerapuhan itu terletak pada kegagalan negara mengontrol dinamikakebijakan pos. Seiring dengan stabilisasi politik nasional pada awal tahun 2000-an, pusat mulai menarik kembali komitmennya secara diam-diam.
Revisi, pembatasan anggaran, dan intervensi terhadap wilayah otonomi menjadi bentuk pembajakan institusional terhadap kesepakatan semula.
Namun yang lebih penting lagi, elit lokal yang seharusnya menjadi pelindung moralitas kebijakan justru menjadi mitra struktural dalam proses penghilangan legitimasi.
Dengan kata lain, setelah berbagi kekuasaan, mereka berbagi pengkhianatan. Otonomi berubah menjadi alat perhitungan politik, bukan lagi instrumen penyembuhan luka sejarah.
Bahkan, dalam ranah simbolik, makna otonomi direduksi menjadi akomodasi administratif tanpa bobot budaya.
Ketika pengkhianatan itu terjadi, masyarakat Papua berada dalam posisi paling lemah. Otonomi tidak mencakup pegunungan tengah atau pesisir barat sebagai layanan publik atau redistribusi aset. Ia menjadi wajah baru dari akumulasi kekuasaan.
Bahkan dalam sektor pembangunan fisik, keputusan-keputusan strategis tetap diambil secara sentralistik di Jakarta, dengan hanya sedikit partisipasi dari komunitas adat setempat.
Sementara itu, elit lokal menjadi pelaku di lapangan yang menangani izin, patronase proyek, dan akomodasi investor. Politik anggaran menjadi medan kapitalisasi, bukan rekonstruksi sosial.
Tidak ada strategi transformatif, yang ada hanyalah pengulangan pola-pola lama dalam wajah baru. Bahasa pembangunan yang digunakan sering bersifat teknokratik, mengaburkan kenyataan tentang ketimpangan dan apa yang oleh teman-teman aktivis disebut sebagai perampasan hak.
Realitas ini menemukan ekspresi paling vulgar dalam ekspansi industri ekstraktif, terutama pertambangan nikel di kawasan Raja Ampat.
Narasi "transisi energi" yang diumandangkan negara hanya menjadi alasan hijau untuk kolonisasi ekonomi yang lebih sistematis.
Pulau-pulau kecil yang memiliki nilai ekologis dan kosmologis tinggi sehingga diakui sebagai salah satu keistimewaan dunia dibuka untuk tambang atas nama hilirisasi, tanpa ada mekanisme konsultasi yang sepadan.
Prinsip FPIC (izin yang bebas, sebelumnya, dan terinformasiyang seharusnya menjadi norma minimum pembangunan yang adil, terpinggirkan oleh logika efisiensi birokrasi dan investasi.
Dalam hal ini, hukum nasional lebih tunduk pada logika investasi daripada prinsip hak asasi masyarakat adat. Negara tidak hadir sebagai mediator, tetapi sebagai fasilitator modal.
Situasi ini tidak dapat dipahami sebagai penyimpangan administratif semata. Ia merupakan manifestasi dari pola hubungan kekuasaan pasca-reformasi: pusat yang berusaha memulihkan kendali, dan daerah yang memobilisasi sentimen etnis atau primordial demi mengakses sumber daya.
Di tengahnya, rakyat Papua hanya menjadi narasi pendukung. Dalam banyak hal, mereka hanya menjadi dasar legitimasi untuk setiap keputusan yang telah disusun di atas meja yang tidak pernah mereka duduki.
Mereka terlibat dalam dokumen, tetapi bukan dalam penyusunan. Mereka dijadikan simbol, tetapi tidak terlibat sebagai subjek.
Lebih mengkhawatirkan lagi, konfigurasi ini juga memperkuat kekerasan struktural. Ketika masyarakat menolak tambang, yang datang bukanlah fasilitator dialog, melainkan aparat keamanan.
Ketika wilayah adat diklaim sebagai kawasan strategis nasional, yang terjadi bukanlah perundingan ulang, melainkan penetapan sepihak. Kekerasan menjadi bagian dari infrastruktur pembangunan.
Dan ketika protes muncul, mereka dikategorikan sebagai gangguan terhadap stabilitas, bukan sebagai ekspresi kegagalan negara. Represi digunakan sebagai alat legitimasi, bukan sebagai reaksi terhadap gangguan keamanan.
Pada titik ini, tidak mengejutkan bahwa sentimen separatis di Papua terus bertahan. Bukan karena provokasi dari luar atau ideologi lama yang kembali hidup, tetapi karena negara telah gagal membangun struktur kepercayaan.
Jika warga terus-menerus melihat tanah mereka diambil, air mereka tercemar, dan suara mereka dibungkam, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk menganggap negara sebagai perwakilan dari kebaikan bersama.
Dalam logika kekuasaan relasional, ketidakadilan yang sistematis akan selalu melahirkan oposisi yang radikal. Di tengah ketidakmampuan struktural, identitas menjadi senjata terakhir.
Kita harus memahami bahwa proyek pembangunan di Papua telah kehilangan dasar moralnya. Ia tidak lagi berbicara tentang penyembuhan luka sejarah atau pengakuan atas eksistensi kolektif masyarakat adat.
Ia hanya menjadi proyek teknokratik yang dimanfaatkan oleh kepentingan bisnis dan perhitungan politik.
Bahkan dalam wacana nasional, Papua lebih sering disebut sebagai "beban fiskal" atau "tantangan keamanan", daripada sebagai komunitas yang perlu didengarkan.
Ironi terdalam dari situasi ini adalah bahwa pembangunan digunakan untuk menutupi kooptasi/kolonialisme, bukan membongkarnya.
Alternatif dari semua ini bukan sekadar perbaikan teknis. Yang diperlukan adalah reimajinasi ulang tata kelola Papua yang memulihkan kesetaraan.
Ini berarti membongkar struktur patronase, mengembalikan kontrol atas tanah kepada masyarakat adat, dan menghapus pendekatan keamanan sebagai standar intervensi negara.
Namun yang paling utama: mendemokratisasi proses pengambilan kebijakan. Selama elit menjadi satu-satunya agen dalam setiap negosiasi, maka hasilnya hanya akan memperkuat ketimpangan yang lebih dalam.
Demokrasi tanpa keadilan substantif hanya akan memperkuat ketimpangan dalam bentuk yang diatur oleh hukum.
Papua bukanlah ruang kosong yang menunggu pembangunan. Ia adalah wilayah yang memiliki berbagai keistimewaan meliputi sejarah, sistem sosial, kekayaan alam, dan pandangan dunia sendiri.
Mengintegrasikan Papua ke dalam Republik Indonesia bukan hanya soal wilayah, tetapi juga soal penghormatan. Tanpa hal itu, semua kebijakan akan gagal, meskipun disebut otonomi, meskipun bertajuk pembangunan, meskipun ditulis dalam undang-undang sekalipun.
Dalam terang sejarah dan dalam bayang-bayang luka, Papua terus mengingatkan kita bahwa pembangunan sejati hanya mungkin lahir dari pengakuan, partisipasi, dan keadilan yang sungguh-sungguh dirasakan, bukan sekadar dijanjikan.
Tidak ada komentar