Beranda
bisnis
Pengusaha Batubara Hadir Saat KFC Semakin Menurun
Redaksi
Juli 08, 2025

Pengusaha Batubara Hadir Saat KFC Semakin Menurun

Ketika Ayam Goreng Tidak Lagi Hanya Gurih

Pada 3 Juli 2025, layar perangkat saya menampilkan berita yang mengejutkan: PT Fast Food Indonesia (FAST), pemegang waralaba KFC di Indonesia, menjual 15% saham PT Jagonya Ayam Indonesia kepada Liana Saputri, putri pengusaha batu bara asal Kalimantan Selatan---Haji Isam---dengan nilai transaksi Rp54,44 miliar.

Saya terdiam beberapa saat. Di tengah menurunnya kinerja KFC Indonesia, apakah kehadiran keluarga Haji Isam akan menjadi angin segar yang menyelamatkan kapal yang sedang tenggelam? Atau ini hanya sekadar langkah bisnis agar tetap bertahan di tengah badai citra?

Mari kita telusuri bukan hanya angka, tetapi juga perasaan. Bukan sekadar strategi, tapi nurani.

Gurih yang Menghilang: Ketika Rasa Tidak Lagi Cukup

Dulu, KFC bukan sekadar ayam goreng—ia adalah ikon gaya hidup kelas menengah. Tempat ulang tahun anak-anak dimeriahkan dengan balon dan topi kertas. Tempat para remaja berkencan tanpa canggung. Tempat keluarga melepas rindu dengan seember ayam renyah dan saus tomat sachet.

Namun zaman berubah.

Dalam setahun terakhir, laporan keuangan FAST menunjukkan kerugian, harga sahamnya turun lebih dari 60% dari titik tertinggi, dan loyalitas konsumen mulai goyah.

Dan penyebabnya bukan karena ayamnya sudah tidak lezat lagi.

Tapi karena hati mulai berbicara lebih keras daripada perut.

Geopolitik, boikot simbolis, hingga kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan membuat orang lebih selektif:

Apa yang saya makan... sesuaikah dengan apa yang saya percayai?

Kedatangan Haji Isam: Harapan Baru atau Hanya Strategi?

Kabar masuknya Liana Saputri melalui PT Shankara Fortuna Nusantara ke Jagonya Ayam Indonesia menjadi babak baru. FAST menyebut dana ini akan digunakan untuk:

Membangun peternakan ayam terintegrasi di Banyuwangi, Memperkuat rantai pasok --- yang selama ini bergantung pada vendor luar, Menurunkan biaya bahan baku hingga 35%, Menguatkan JAI sebagai mesin pertumbuhan baru di luar KFC.

Ini bukan hanya transaksi saham.

Ini adalah tanda bahwa mereka bersiap menyelamatkan bukan hanya bisnis, tetapi juga marwah merek yang selama ini terancam goyah.

Namun satu pertanyaan masih menggantung:

Apakah suntikan modal cukup tanpa perbaikan moral?

Citra, Empati, dan Krisis yang Tidak Terlihat

Konsumen hari ini tidak mudah diyakinkan hanya dengan promo atau endorsement selebriti.

Mereka membaca label. Mereka bertanya tentang asal bahan baku. Mereka peduli apakah merek yang mereka dukung juga berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan.

Sementara beberapa merek lokal:

Mengangkat isu Palestina dalam kampanye sosial mereka, menyalurkan sebagian keuntungan untuk donasi, dan tetap ramah di kantong masyarakat kelas menengah ke bawah.

KFC Indonesia masih terjebak pada pendekatan lama: influencer, promo, dan gimmick yang tidak menyentuh hati.

Saat Merek Lokal Menjadi Juara Hati

Sabana, D'Besto, Hisana, Rocket Chicken... mereka bukan raksasa, tetapi mereka manusia biasa.

Harga mereka ramah, kehadiran mereka terasa dekat, dan—yang paling penting—mereka tidak jauh dari nurani konsumen.

Tanpa bintang K-Pop, mereka tetap disukai.

Tanpa spanduk raksasa, mereka tetap diburu.

Karena mereka menjual bukan hanya rasa, tetapi juga rasa memiliki.

Empat Langkah KFC untuk Bangkit dari Keterpurukan

Untuk bangkit, KFC Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar uang. Ia butuh:

1. Diversifikasi model bisnis

Investasi ke JAI adalah langkah awal. Tapi harus disertai transparansi, inklusi, dan keberpihakan terhadap peternak lokal dan UMKM.

2. Rekonstruksi citra dengan tindakan nyata

Citra tidak bisa dibentuk dari iklan. Ia tumbuh dari keberanian mendengar publik, memberi empati, dan tampil rendah hati.

3. Menyatu dengan irama masyarakat

Hadiri dalam komunitas, ikut serta dalam kegiatan sosial, dan beri ruang dialog dengan pelanggan.

4. Redefinisi 'Jagonya Ayam'

Jadilah pahlawan tidak hanya di dapur, tetapi juga di ranah sosial dan kemanusiaan.

Penutup: Ayamnya Mungkin Sama, Tapi Sikap Tak Pernah Netral

Dulu, memilih ayam goreng adalah soal rasa dan harga.

Kini, itu bisa menjadi pernyataan sikap. Sebuah bentuk solidaritas. Sebuah ekspresi nilai.

KFC Indonesia pernah menjadi bagian dari banyak kenangan indah masyarakat kita. Tapi nostalgia tidak cukup untuk bertahan dalam gelombang zaman yang berubah.

Suntikan dana dari keluarga Haji Isam semoga bukan hanya soal untung-rugi.

Tetapi menjadi awal dari sebuah transformasi—yang lebih manusiawi, lebih inklusif, dan lebih selaras dengan nurani rakyat. Suntikan dana dari keluarga Haji Isam semoga bukan hanya soal untung-rugi.

Tetapi menjadi awal dari sebuah transformasi—yang lebih manusiawi, lebih inklusif, dan lebih selaras dengan nurani rakyat.

Penulis:

Merza Gamal

Pembimbing & Konsultan Transformasi Budaya Perusahaan

Penulis blog

Tidak ada komentar