Beranda
berita
bisnis
ekonomi
manufaktur
teknologi
OPINI: Upaya Menata Ulang Ekspor Nikel
Redaksi
Agustus 11, 2025

OPINI: Upaya Menata Ulang Ekspor Nikel

NOIS.CO.ID,JAKARTA - Kebijakan penghilirannikelyang selama ini diposisikan sebagai fondasi transformasi ekonomi nasional kini menghadapi tantangan serius. Tantangannya antara lain sejumlah smelter, anjloknya harga nikel global, serta ketergantungan pada satu pasar dan satu jenis teknologi, menandai bahwa strategi penghiliran perlu ditinjau ulang secara menyeluruh.

Data terbaru menunjukkan setidaknya 28 jalur produksi smelter nikel dengan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) telah menghentikan operasi hingga pertengahan 2025. Sebagian besar smelter ini tidak lagi mampu beroperasi secara ekonomis karena harga nikel kadar menengah (MC 30%) di pasar domestik berkisar US$33—US$34 per wet metric ton (WMT), jauh dibawah ongkos produksi (Media Nikel Indonesia, 17/6).

Bahkan, dalam laporan khusus media ini, kondisi industri pengolahan nikel Indonesia disebut "terancam mandek" akibat tekanan berlapis, mulai dari harga global yang rendah, kebijakan anti-dumping Tiongkok, hingga permintaan bahan baku yang rendah dari dalam negeri (Bisnis Indonesia, 30/7). Sinyal krisis ini tidak bisa diabaikan begitu saja.

Salah satu akar masalah adalah ketergantungan yang terlalu besar pada satu pasar, yaitu Tiongkok. Sekitar 90% ekspor produk hilir nikel Indonesia masih bergantung pada pasar Tiongkok, khususnya untuk produk feronikel dan nickel pig iron (NPI). Ketika pasar tersebut terganggu oleh penurunan permintaan atau kebijakan antidumping, industri nikel Indonesia langsung terkena dampaknya.

Ketergantungan ini tidak hanya menciptakan risiko eksternal, tetapi juga menunjukkan kelemahan strategi diversifikasi pasar. Sementara negara-negara seperti Filipina atau Australia mulai memperluas mitra ekspor mereka ke Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS), Indonesia justru belum mengembangkan strategi penghiliran berbasis pasar alternatif.

Selain itu, penggunaan teknologi RKEF yang mendominasi smelter di Indonesia semakin mempersempit pilihan. Teknologi ini hanya efektif untuk nikel saprolit dan menghasilkan produk dengan nilai tambah rendah, yang tidak kompatibel dengan kebutuhan global akan nikel berkadar tinggi untuk baterai kendaraan listrik.

Padahal tren dunia justru bergerak cepat ke arah elektrifikasi transportasi dan energi bersih. Jika Indonesia terus bertahan dalam model ini, kita akan kehilangan momentum untuk menjadi pemain utama dalam rantai nilai industri baterai global.

Kondisi pasar nikel saat ini juga menunjukkan anomali. Dalam situasi normal, pelaku industri cenderung menolak intervensi pemerintah. Namun, kini permintaan agar pemerintah menata ulang volume produksi nikel justru datang dari asosiasi pengusaha sendiri (Bisnis Indonesia, 1/8). Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme pasar telah gagal menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan.

Tanpa regulasi pasokan, koordinasi lintas sektor, dan sistem pengendalian harga, industri nikel nasional berisiko mengalami race to the bottom. Kondisi persaingan tanpa batas antarprodusen yang justru merusak nilai tambah dan mempercepat keruntuhan ekosistem industri dengan mengorbankan kepentingan pekerja, lingkungan, dan pajak.

LANGKAH PEMBARUAN

Permintaan dari para pelaku industri agar negara mengambil peran dalam mengendalikan produksi bukanlah bentuk kemunduran terhadap liberalisasi, tetapi merupakan refleksi atas ketiadaan institusi stabilisasi harga dan tata kelola pasokan yang stabil dalam kebijakan penghiliran selama ini. Kondisi saat ini membuka peluang untuk melakukan reorientasi penghiliran nasional. Setidaknya terdapat empat agenda pembaruan yang dapat diambil.

Pertama, pembentukan otoritas penghiliran nasional. Pemerintah perlu membentuk lembaga lintas sektor yang mengintegrasikan kebijakan produksi, teknologi, izin, dan pasar. Tanpa badan otoritatif, arah penghiliran akan terus sektoral dan terfragmentasi.

Kedua, diversifikasi teknologi dan pasar harus dipercepat. Investasi High Pressure Acid Leaching (HPAL) perlu ditingkatkan, dan ekspor diarahkan ke negara-negara seperti UE, India, AS, dan Korea Selatan dalam kerangka kemitraan strategis berbasis pasokan mineral kritis. Indonesia tidak sekadar eksportir bahan mentah, tetapi mitra strategis transisi energi global. Diplomasi mineral harus mendorong transfer teknologi, pendanaan pengolahan, dan akses pasar yang lebih adil.

Ketiga, integrasi rantai nilai dalam negeri. Smelter tidak boleh berdiri sendiri tanpa keterhubungan dengan industri hulu dan hilir di dalam negeri. Rantai nilai nikel harus diarahkan untuk mendorong pengembangan baterai listrik, kendaraan listrik, dan penyimpanan energi.

Keempat, perlindungan sosial dan keberlanjutan. Kebijakan pengolahan harus berpihak pada pekerja tambang, masyarakat setempat, dan lingkungan hidup. Standar industri hijau dan mekanisme kompensasi lingkungan harus menjadi syarat bagi setiap investasi pengolahan dalam memprioritaskan "kondisi lingkungan".

Pengembangan nikel tidak boleh berhenti sebagai proyek fisik atau jargon politik. Ia harus diangkat menjadi strategi nasional yang menyeluruh untuk mengintegrasikan visi ekonomi, teknologi, sosial, dan lingkungan. Dengan cadangan nikel laterit terbesar di dunia sebesar lebih dari 21 juta ton, Indonesia memiliki peluang untuk menjadi pusat industri kendaraan listrik global.

Potensi ini hanya dapat tercapai melalui pengelolaan yang mandiri, penguasaan teknologi, akses pasar global, dan ekosistem industri yang kuat. Krisis harga dan penutupan smelter adalah alarm untuk perbaikan kebijakan. Kedaulatan ekonomi bukan sekadar larangan ekspor mentah, tetapi tentang siapa yang menguasai rantai nilai dan memberikan manfaat berkelanjutan bagi bangsa.

Penulis blog

Tidak ada komentar