
NOIS.CO.ID -- , Jakarta - Barak militer adalah bangunan penting yang dirancang untuk menyediakan tempat tinggal sementara atau semi permanen bagi personel militer. Selain sebagai ruang tinggal, barak juga berfungsi untuk mendukung kebutuhan logistik, operasional, hingga menjadi lokasi kantin, fasilitas kesehatan, dan pusat komando.
Barak merupakan elemen krusial dalam jaringan organisasi angkatan bersenjata. Baik itu berupa kemah ataupun area pertahanan lain, barak menyediakan daerah yang aman serta rapi untuk para prajurit saat latihan, tugas operasional, hingga gencaran perang.
Dilansir dari laman ensiklopedia Britannica Istilah "barak" atau tempat tinggal tentara biasanya dipakai secara plural. Pada masa lalu, personel kerap disimpan di rumah swasta, penginapan, atau struktur yang telah tersedia, khususnya mulai abad ke-18. Tindakan tersebut mendapat sorotan negatif dalam Doktrinal Kemerdekaan Amerika Serikat karena dinilai mengambil alih area sipil serta dapat merugikan etos peleton.
Sebagai respons, muncul gerakan pembangunan barak permanen di lokasi penempatan pasukan. Pada abad ke-19, barak berbahan bata mulai dibangun di seluruh Eropa. Sementara itu, barak sementara dari kayu atau kanvas digunakan secara massal dalam situasi perang, seperti saat Perang Saudara Amerika dan Perang Dunia II.
Barak militer modern umumnya sudah dilengkapi fasilitas perpipaan, dapur, dan ruang rekreasi untuk mendukung kenyamanan prajurit.
Pada saat ide pemakaian barak menjadi tempat latihan mulai bangkit lagi, sejumlah pejabat pemerintahan lokal di Indonesia menerapkan strategi alternatif dengan mengirim siswa berkelakuan problematis ke barak tentara guna menjalani pembelajaran setengah militer. Salah satunya ialah proyek yang dikelola oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mendapat sorotan dari publik.
Proyek ini diselenggarakan di dua tempat milik TNI AD, yaitu Lapangan Kujang Rindam III/Siliwangi di Bandung serta Markas Menarmed 1 Kostrad di Purwakarta. Dedi bekerja sama dengan TNI untuk merawat anak-anak yang dianggap "bandel" atau sukar dikendalikan baik oleh sekolah maupun orang tua mereka.
Merespon kritikan, Dedi memastikan bahwa metode tersebut tidak berupa latihan militer tetapi lebih kepada pembentukan karakter. Dia menjelaskan bahwa sejumlah besar orangtua serta guru sudah merasa kesulitan dalam menangani anak-anak mereka yang telah hilang arah dan kurang memiliki semangat persaingan. Selain itu, dia juga mencetuskan masalah kriminalisasi terhadap para guru yang bertindak keras, oleh karena itu ia percaya diperlukannya dukungan dari lembaga-lembaga seperti TNI dan Polri.
Ini merupakan suatu bentuk pendampingan yang tak ditemukan dalam keseharian mereka di rumah masing-masing. Selain itu, juga tanpa adanya latihan militer. Maka begitu bergabung, barak militer "Bukan simulasi militer, bukan," tegas Dedi.
Meskipun demikian, program tersebut tetap menjadi perhatian. KPAI melihat beberapa isu ketika melakukan pengawasannya. Catatan signifikan dalam laporan penilaian menyebutkan ada anak-anak yang ikut serta dan merasa tak nyaman sampai akhirnya meninggalkan program. Berbagai alasan membuat hal itu terjadi, menunjukkan bahwa metode setengah militer mungkin bukan pilihan tepat bagi seluruh anak.
"Beberapa peserta menghadiri pelatihan ini berdasarkan saran dari guru BK. Sebagian lainnya menyampaikan ketidaknyamanannya, ingin terus belajar di sekolah, dan ada pula yang mencoba meninggalkan asrama untuk pergi membeli camilan," ungkap Komisioner KPAI Aris Adi Leksono kepada media. Tempo , Selasa, 12 Mei 2025.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter perlu dijalankan dengan metode yang sungguh-sungguh mendukung perkembangan anak, semua tahap pengasuhan harus menjauhi jenis-jenis tindakan kekerasan apa pun. " Kami mengapresiasi niat Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk memajukan pendidikan karakter. Namun cara melakukannya mesti didasarkan pada prinsip proteksi terhadap anak-anak," ungkap Aris. Menurutnya, program tersebut seharusnya membentuk lingkungan penyembuhan serta peningkatan kapabilitas, tidak boleh jadi sarana diskredit atau stigma.
Sapto Yunus serta Dinda Shabrina turut memberikan kontribusi pada karya tulis ini.
Tidak ada komentar