Beranda
business
NEWS
politics
politics and government
politics and law
KPK Tetap Anggap Diri Berwenang Urus Kasus Korupsi, Walaupun Ada Aturan Baru BUMN
Redaksi
Mei 10, 2025

KPK Tetap Anggap Diri Berwenang Urus Kasus Korupsi, Walaupun Ada Aturan Baru BUMN

NOIS.CO.ID -- , JAKARTA - Komisi Penanggulangan Korupsi ( KPK Tetap bersikeras mempertahankan wewenang dalam penanganan dugaan korups di badan usaha milik negara meskipun telah adanya regulasi tersebut. BUMN yang baru.

KPK bersikeras bahwa apabila individu menduduki posisi di perusahaan milik negara (BUMN) maka orang tersebut termasuk dalam kategori pejabat negara. Oleh karena itu, pemberantasan dugaan tindak pidana korupsipun tetap menjadi wewenang dari lembaga antirasuah ini.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto mengungkapkan bahwa institusinya memberikan apresiasinya atas upaya pemerintah untuk meningkatkan peranan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam menangani sektor-sektor vital guna mencapai kemakmuran masyarakat. Menurut dia, organisasinya bertanggung jawab secara utama pada misi penghapusan korupsi.

Namun, Setyo menyebutkan adanya beberapa ketentuan baru dalam UU Nomor 1/2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang diyakininya dapat mengekang wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat melakukan penyelidikan kasus-kasus suap.

"KPK menginterpretasikan bahwa ada sejumlah aturan yang diyakininya dapat mengekang wewenang KPK saat melakukan investigasi, pengusutan, serta penuntutan atas dugaan tindakan hukum pidana korupsi yang berkaitan dengan perusahaan milik negara," ungkapnya lewat pernyataan formal pada hari Rabu (7/5/2025).

Oleh karena itu, melanjutkan Setyo, KPK memberikan respon spesifik terhadap dua pasal dalam UU BUMN. Pasal-pasal tersebut berkaitan dengan pencabutan status sebagai penyelenggara negara untuk direktur, komisar, dan anggota Dewan Pengawas BUMN, serta tentang ketentuan bahwa kerugian yang dialami oleh BUMN tidak dipandang sebagai kerugian negara.

Terkait peraturan yang mengatakan bahwa anggota direksi, dewan komisaris, atau dewan pengawas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak termasuk sebagai penyelenggara negara sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 9G Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025, Setyo menyoroti adanya inkonsistensi antara ketentuan tersebut dengan definisi penyelenggara negara seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Kekurangan dan Kenakalan Bernuansa Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Terutama, pasal 1 ayat 1 dan pasal 2 ayat 7 beserta ketentuannya yang terdapat di dalam UU No. 28/1999.

Seorang perwira senior dari Polri bersarung tiga bintang menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 adalah aturan Administratif spesifik yang dirancang untuk meminimalisir terjadinya Korupsi dan Kolusi serta Nepotisme. Dia pun menekankan bahwa pelaksanaan hukuman dalam kasus-kasus suap yang melibatkan pejabat pemerintah akan diatur sesuai dengan ketentuan undang-undang tersebut.

Sebaliknya, Pasal 9G UU BUMN terbaru menegaskan dalam ketentuannya: "Hal ini tidak berarti bahwa pihak yang bukan seorang penyelenggara negara dan bertugas di perusahaan BUMN secara otomatis kehilangan status mereka sebagai penyelenggara negara."

Demikianlah penjelasan dari Setyo yang menyatakan bahwa posisi sebagai Penyelenggara Negara tetap dipertahankan meskipun individu tersebut telah menjabat sebagai pengurus di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Dengan begitu, KPK menyatakan bahwa anggota direksi/dewan komisaris/dewan pengawas BUMN masih termasuk sebagai penyelenggara negara menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, jelas Setyo.

Karena itu, dengan posisi seperti itu, direktur/komisaris/anggota dewan pengawas BUMN masih harus mengirimkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) dan mendaftarkan terima gratifikasi.

Sementara itu, terkait pasal 4B Undang-Undang Persero yang menyatakan bahwa kerugian Persero tidak dianggap sebagai kerugian finansial bagi negara, dan juga pasal 4 ayat (5) tentang modal dari negara dalam perusahaan persero dinyatakan sebagai harta milik perusahaan persero.

Berdasarkan peraturan tersebut, KPK mengumumkan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) akan dijadikan rujukan dan secara resmi menutup diskusi tentang harta milik negara yang terpisah. Keputusan MK yang disebut adalah No. 48/PUU-XXI/2013 serta No. 62/PUU-XI/2013 lalu mendapat pengokohan lebih lanjut melalui masing-masing putusan berikutnya yaitu No. 59/PUU-XVI/2018 dan No. 26/PUU-XIX/2021.

Setyo menjelaskan bahwa MK sudah menentukan bahwa aspek keuangan negara yang terpisah masih menjadi bagian integral dari keuangan negara secara keseluruhan, di sini mencakup juga BUMN sebagai turunan dari kepemilikan negara.

Dengan begitu, KPK menegaskan bahwa kerugian pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dianggap sebagai dampak finansial bagi negara yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum pidana (TPK) terhadap direksi, komisaris, atau pengawas dari BUMN tersebut, sebut Setyo.

Namun begitu, Setyo menegaskan bahwa kerugian finansial yang dialami oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bisa ditindak pidana berdasarkan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), asalkan hal tersebut disebabkan oleh tindakan ilegal/penyelundupan kuasa/pernyelewengan terhadap prinsip Business Judgment Rule (BJR).

Prinsip BJR tercantum dalam Pasal 3Y dan 9F Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025. Di sana disebutkan bahwa kerugian keuangan negara yang bisa dikenai pidana harus dikarenakan oleh penipuan, suap, absennya niat baik, konflik kepentingan, serta kelalaian untuk mencegah timbulnya kerugian finansial bagi negara oleh pucuk pimpinan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Berdasarkan penjelasan itu, KPK menyatakan masih memegang wewenang dalam melaksanakan penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan terkait Tim Penguji Kasus (TPK) yang dilancarakan oleh Direksi, Komisaris, atau Pengawas di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), demikian kesimpulan Setyo.

Alasan KPK Tindak Legas Direktur BUMN

Setyo bersikeras bahwa pasal 9G Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara bertentangan dengan cakupan penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 28 tahun 1999 mengenai Pelaksanaan Negara yang Bersih dan Berantas Kecurangan, Kolusi, serta Nepotisme (KKN).

Seorang perwira senior dari Polri dengan pangkat tiga bintang tersebut menjabarkan bahwa Undang-Undang No. 28/1999 adalah hukum administratif spesifik dirancang untuk meminimalisir terjadinya suap dan korupsi. Dia menyatakan bahwa KPK merujuk kepada UU No. 28/1999 ketika melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara.

Maka wajarlah apabila dalam ranah implementasi hukum terkait pelanggaran pidana korupsi yang melibatkan Pejabat Negeri, Komisi Pemberantasan Korupsi mengacu pada Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, jelas Setyo.

Sebaliknya, Pasal 9G UU BUMN terbaru menegaskan dalam penjelasannya: "Hal ini tidak berarti bahwa pihak yang sebelumnya dianggap bukan penyelenggara negara tetap dipersepsikan demikian ketika mereka mengambil posisi sebagai pengurus BUMN; status mereka sebagai penyelenggara negara tidak otomatis lenyap."

Demikian disampaikan oleh Setyo, arti dari aturan tersebut adalah status sebagai Penyelenggara Negara tetap dipertahankan meskipun seseorang telah menjabat sebagai pengurus di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Dengan demikian, KPK menyatakan bahwa anggota direksi/dewan komisaris/dewan pengawas BUMN masih termasuk dalam kategori penyelenggara negara menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, tegas Setyo.

Karena itu, dengan posisi seperti itu, direktur/komisaris/anggota dewan pengawas BUMN masih harus mengirimkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) dan juga mendokumentasikan penerimaan gratifikasi.

Aturan BUMN Kebal KPK

Berdasarkan catatan Bisnis Rancangan UUD No.19/2003 revisi yang diajukan oleh DPR menyatakan bahwa Badan Pengelola Investasi Dana Antarabangsa dan juga para anggota direksi, komisaris, sampai dewan pengawasan di perusahaan BUMN tidak termasuk sebagai bagian dari aparatur negara. Aturan seputar status pegawai badan tersebut tertuang pada Pasal 3Y RRUU BUMN.

Di sisi lain, aturan terkait posisi Direktur, Komisaris, serta Dewan Pengawas pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bukan merupakan penyelenggara negara, dinyatakan dengan jelas dalam Pasal 9G.

Bagian itu tertulis sebagaimana berikut:

Pimpinan perusahaan milik pemerintah seperti direksi, komisaris, dan pengawas tidak termasuk dalam kategori pejabat negara.

Pasal 87 ayat 5 mengungkapkan bahwa karyawan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak termasuk sebagai penyelenggara negara. Meskipun begitu, ketentuan tersebut berlaku bagi mereka yang dipekerjakan sampai diberhentikan menurut regulasi internal perusahaan atau kesepakatan kontrak kerja kolektif.

Sebaliknya, bagi komisaris atau anggota Dewan Pengawas yang berasal dari penyelenggara negara, gelar sebagai penyelenggara masih tetap berlaku.

Mengejutkan, aturan tentang status kepegawaian bagi pegawai hingga direktur perusahaan milik negara (BUMN) bersifat lex specialist, dengan pengecualian untuk ketentuan-ketentuan tertentu berkaitan dengan penyelenggara negara yang tidak dicakup dalam Rancangan Undang-Undang BUMN.

Ini berarti tidak ada celah dalam peraturan lain yang bisa digunakan untuk campur tangan pada posisi BUMN bukan sebagai badan negara.

Aturan tersebut pun mengacu pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Berantas Kecurangan dalam Bidang Perekonomian (UU PKP3BKP4E) khususnya Pasal 2, dimana pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dikelompokkan sebagai penyelenggaras negara. Ketentuan ini kerapkali jadi dasar bagi aparat penegak hukum ketika ingin memproses kasus-kasus yang melibatkan individu-individu di lingkungan BUMN.

Penulis blog

Tidak ada komentar