
NOIS.CO.ID --.CO.ID - JAKARTA. Implementasi kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) masih menjadi sorotan. Sejumlah asosiasi pelaku industri menagih kepastian pasokan gas supaya kinerja industri manufaktur Indonesia tak semakin tertekan.
Pemerintah melanjutkan kebijakan HGBT melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Kepmen ESDM) Nomor 76.K/MG.01/MEM.M/2025. Dalam beleid yang terbit pada akhir bulan Februari 2025 itu, kebijakan HGBT berlaku untuk tujuh sektor industri dengan total 253 pengguna gas bumi tertentu.
Industri tersebut meliputi pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Harga gas bumi sebagai bahan bakar dipatok sebesar US$ 7 per million british thermal unit (Harga gas sebagai energi adalah) US$ 6,5 per MMBTU. Sedangkan biaya gas untuk bahan baku juga sekitar US$ 6,5 per MMBTU.
Yustinus Gunawan, Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), menyatakan bahwa realisasi pasokan gas masih belum mencapai target sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 76/2025. Menurut penjelasannya, pencapaian untuk bulan Januari baru sebesar 54% dari yang diharapkan tanpa menggunakan tarif HGTK.
Selebihnya, penggunaan dikenakan tarif regasifikasi sebesar US$ 16,77 per MMBTU. "Pengguna sudah membayar dengan harga pipa normal dan harga regasifikasi untuk penggunaan Januari, karena Kepmen baru ditetapkan akhir Februari 2025," kata Yustinus kepada NOIS.CO.ID --.co.id, Senin (5/5).
Yustinus mengatakan bahwa overpayment belum dibalas oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) serta entitas bisnis penyedia gas lainnya. Di sisi lain, pada Februari 2025, pembayaran harus dilakukan dengan tarif sebesar US$ 7 per MMBTU.
Akan tetapi, Alokasi Gas untuk Industri Tertentu (AGIT) baru mencapai angka 73%. Kemudian, pada bulan Maret, AGIT naik menjadi 76%. Untuk sisa bagian, pemakaian terkena biaya regasifikasi senilai US$ 16,77 per MMBTU.
Yustinus menyebutkan bahwa FIPGB masih dalam proses pengumpulan data hingga April 2025. Ia optimis AGIT dapat meraih angka 100%, sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Kepmen ESDM Nomor 76/2025, khususnya melalui kontribusi PGN selaku penyedia gas utama.
Yustinus juga mengkritik biaya regassifikasi yang sebesar US$ 16,77 per MMBTU, yang jauh melebihi batasan HGTK. Menurutnya, hal itu merupakan salah satu faktor utama dalamperlambatan pertumbuhan industri manufaktur di Indonesia.
S&P Global mencatat Purchasing Manager’s Index (PMI) Sektor manufaktur di Indonesia pada April 2025 merosot hingga mencapai angka 46,7, turun sebanyak 5,7 poin dari posisi Maret 2025 yang berada di kisaran 52,4. Indeks Manufaktur Indonesia untuk periode tersebut telah berada di bawah 50, menandakan sedang dalam tahap penyusutan.
"HGTK yang belum mencapai angka 100% semakin memburuk akibat biaya regasifikasi yang memiliki dampak negatif. Ini terlihat dari Indeks Manufaktur Indonesia yang berada di posisi 46,7 atau mengalami penurunan di bulan April," tambah Yustinus.
Edy Suyanto, Ketua Umum Asosiasi Beragam Industri Keramik Indonesia (Asaki), juga menyampaikan perhatian terhadap masalah serupa. Menurut catatan Asaki, presentasi AGIT telah berkurang di bulan April, termasuk di daerah Jawa bagian barat dan Jawa bagian timur.
Di wilayah Barat Jawa, presentasi AGIT untuk bulan Februari, Maret, dan April berturut-turut mencapai 73%, 77%, dan 65%. Sementara itu, dalam interval waktu tersebut, proporsi AGIT di Jawa Timur berada pada angka 58%, 61%, dan 49%.
Menurut Edy, penurunan AGIT di bulan April sudah merugikan daya saing industri keramik dalam negeri. Ia menjelaskan bahwa para pemain industri ini dituntut untuk memroduksi dengan biaya gas rata-rata mencapai US$ 8 per MMBTU atau bahkan lebih tinggi.
"Berdasarkan hal itu, kira-kira 15% lebih tinggi dibandingkan dengan keputusan HGBT. Ini sangat mengecewakan, apalagi bagi wilayah Timur Jawa yang sebenarnya tidak harus menghadapi masalah pasokan gas. Namun, diberitahu adanya gangguan di hilir yang memerlukan waktu perbaikan hingga bulan Oktober," jelas Edy.
Menurut Edy, biaya gas merupakan faktor penting dalam penentuan penggunaan keramik di tanah air. Menurut penjelasannya, pengunaan keramik naik mencapai angka 75% pada paruh pertama tahun 2025 ini, lebih baik dari nilai rata-rata sebesar 65% terjadi selama setahun penuh di tahun 2024 lalu.
Di tahun ini, Asaki mengestimasi bahwa utilitas produksi keramik dapat menyentuh angka 85%, hal ini disokong oleh sejumlah bantuan dari pihak pemerintahan. Akan tetapi, terjadinya hambatan dalam pasokan gas telah membuat kedudukan industri keramik goyah menanjak turun, tambah Edy.
Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas), Fajar Budiono, juga menambahkan bahwa beberapa perusahaan di bidang ini belum menerima Hak Guna Bangunan Tanah (HGB) sesuai dengan kapasitas mereka. Hal ini terlihat jelas pada perusahaan-perusahaan yang berlokasi di wilayah Jawa bagian barat.
Fajar mengatakan bahwa gas adalah salah satu elemen dalam proses produksi yang amat krusial. Apabila harga gas naik, maka biaya produksi juga secara langsung meningkat. Akibatnya, harga barang jadi menjadi kurang berdaya saing dibandingkan dengan produk-produk impor yang harganya lebih rendah.
Sebenarnya, Indonesia harus lebih berhati-hati. Dalam menghadapi persaingan tariff dengan Amerika Serikat, pihak berwenang perlu menjaga diri dari gelombang barang impor yang masuk, khususnya dari China.
"China sudah sulit untuk dilawan tanpa harus mengurangi harganya. Apalagi jika memangkas harga, tantangan menjadi lebih besar. Namun, HGBT ini dapat membantu mereduce biaya produksi. Oleh karena itu, apabila HGBT tidak disediakan bagi sektor industri, secara otomatis kita akan kesulitan berkompetisi dengan barang impor," tegas Fajar
Tidak ada komentar