
NOIS.CO.ID, Jakarta -Diungkapkan puluhan ton beras campuran dipesan oleh anggota DPRD untuk paket sembako.
Beras tersebut dikemas dalam karung berisi 5 kilogram dengan jumlah mencapai ribuan karung.
Pengoplosan beras tersebut diinformasikan oleh pihak penjual sesuai dengan harga pesanan.
Selain itu, untuk mengatasi harga agar terjangkau bagi konsumen.
Diketahui hasil investigasi Kementerian Pertanian mengungkap 212 merek beras yang tidak memenuhi standar mutu nasional.
Di sisi lain, sejumlah pedagang di Pasar Induk Cipinang secara terbuka mengakui mengoplos beras—bahkan mencampur menir dan beras rusak—untuk memenuhi permintaan konsumen dan pesanan politisi.
Dari investigasi yang dilakukan Tribunnews terhadap jantung distribusi beras Indonesia, yaitu Pasar Induk Cipinang, dan dua titik lainnya di Jakarta, beberapa waktu lalu, terungkap bahwa sejumlah pedagang mengakui praktik oplosan secara terbuka.
Mereka mencampur beras premium dengan menir, beras rusak, bahkan raskin demi menyesuaikan harga pesanan, termasuk dari kalangan politisi.
Pada Rabu (25/6/2025) siang, Tribunnews memantau langsung aktivitas mencurigakan di depan Toko Beras MB, Blok L, Pasar Induk Beras Cipinang.
Menjelang tengah hari, terlihat lima pekerja di toko beras itu sibuk mengemas puluhan kilogram beras yang digundukkan ke dalam karung-karung ukuran lima kilogram.
Salah satu dari beberapa pekerja bertugas menjahit karung beras berukuran 5 kilogram yang sudah diisi beras.
Sementara pekerja lain membawa karung-karung yang telah diisi dan dijahit ke dalam toko untuk disimpan sebelum dikirim ke lokasi yang dipesan pelanggan.
Pemilik toko beras MB, Jefry—nama samaran—mengungkapkan bahwa beras-beras yang sedang dikemas ke dalam karung berukuran 5 kilogram itu adalah pesanan dari seorang anggota DPRD DKI Jakarta, dari salah satu partai politik terbesar.
Total, ia menerima pesanan 10 ton beras dari anggota DPRD tersebut.
Beras tersebut, kata Jefry, dikemas dalam 2.000 karung berukuran 5 kilogram dan rencananya akan dibagikan sebagai paket sembako di kawasan Pluit, Jakarta Utara.
"Ini (beras) sudah diaduk semua, di-mix di situ beras medium dengan medium semua. Kan yang medium juga jenisnya bervariasi," katanya sambil menunjukkan jenis-jenis beras yang dimilikinya, mulai dari premium, medium, patahan (siping), hingga menir.
Jefry mengakui praktik "mixing" ini dilakukan sesuai pesanan, termasuk untuk permintaan dari pihak-pihak tertentu, seperti salah satu anggota DPRD DKI Jakarta yang memesan 10 ton beras untuk paket sembako.
Beras itu kemudian dikemas dalam karung lima kilogram berlabel "Sakura", merek generik yang tidak dipatenkan perusahaan.
Saat ditanya lebih rinci mengenai komposisi, Jefry menolak untuk menjelaskan. Ia menyebutnya sebagai "rahasia dagang."
Namun, ia mengatakan campuran itu dilakukan untuk mengatasi harga agar tetap terjangkau bagi konsumen.
"Jika anggaran mereka hanya Rp 12.000, sementara beras di lapangan harganya Rp 12.000 itu tidak ada, ya mau tidak mau kita tawarkan produk yang sesuai harga segitu," katanya.
Jefry mengklaim tanpa praktik mixing, pedagang beras tidak akan bisa bertahan.
Investigasi Tribunnews menemukan bahwa praktik mixing itu dilakukan secara terbuka di sejumlah toko di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, pusat distribusi beras terbesar di Indonesia.
Setidaknya, dua dari tiga toko yang ditelusuri tim Tribun--Toko Beras NJ dan Toko Beras F--mengakui mampu memenuhi permintaan pencampuran beras sesuai permintaan konsumen.
Modusnya sama dengan praktik di toko milik Jefry, pelaku yang sebelumnya lebih dulu ditangkap karena mencampur beras raskin, beras Demak, dan menir.
"Kita bisa mencampur sesuai permintaan, misalnya premium dicampur medium, atau menggunakan menir agar lebih murah," kata seorang petugas toko yang tidak ingin disebutkan namanya.
Sementara Toko Beras IJ menolak melakukan pencampuran sembarangan.
Mereka hanya melayani campuran beras premium, tanpa menir atau beras berkualitas rendah.
Namun, ketidakwajaran ditemukan di toko ini. Karyawan bernama Rika (nama disamarkan) mengungkapkan, sejumlah karung beras dalam kemasan lima kilogram tidak boleh dibeli oleh pelanggan karena berisi campuran beras berkualitas buruk seperti beras menir.
Padahal karung-karung itu berjajar di rak etalase toko. "Itu hanya contoh karung, isinya tidak untuk dijual. Di dalamnya sudah dicampur menir. Kalau mau beli harus
"minimal 50 kilogram," kata Rika saat ditanya.
Keterangan ini memperkuat dugaan bahwa praktik pencampuran dilakukan secara sistematis, dengan kemasan menarik untuk menipu konsumen.
Pemalsuan dilakukan bukan hanya untuk menekan harga, tetapi juga untuk mencari keuntungan besar dari pembeli yang tidak menyadari isi sebenarnya.
Temuan ini menunjukkan bahwa pengawasan kualitas beras di tingkat distribusi masih sangat lemah, dan konsumen menjadi pihak yang paling dirugikan tanpa menyadari hal tersebut.
Praktik seperti ini tidak hanya melanggar etika bisnis, tetapi juga ketentuan peraturan pangan dan standar kualitas nasional.
( NOIS.CO.ID/Tribunnews.com)
Tidak ada komentar