Beranda
HELT
Hype Lari, Cari Keringat Sekaligus Cari Uang
Redaksi
Juli 08, 2025

Hype Lari, Cari Keringat Sekaligus Cari Uang

Pada tahun 490 SM, Yunani memenangkan pertempuran melawan bangsa Persia, seorang prajurit Yunani bernama Pheidippides ditugaskan untuk menyampaikan kabar kemenangan tersebut, maka ia pun berlari dari kota Marathon ke Athena sejauh 40 kilometer untuk memberitahukan bahwa Persia telah kalah. Lari Pheidippides itu menjadi awal dari lari marathon, olahraga masterpiece bagi para pelari.

Lari pada dasarnya adalah olahraga yang sederhana, namun pengaruh media sosial meningkatkan popularitas olahraga tersebut, munculnya berbagai komunitas dan acara lari. Publikasi yang berlebihan ini seolah menjadi hype, yang akhirnya mendorong masyarakat tidak hanya sekadar berolahraga tetapi menjadi ajang bersosialisasi dan bergaya.

Lari, Dari Olahraga Sederhana Menjadi Tren

Ada dua kategori pelari, yaitu pertama kategori profesional atau atlet, kelompok ini tidak perlu lagi diperdebatkan keberadaannya, karena mereka adalah pelari sejati. Kelompok kedua adalah pelari yang melakukannya karena hobi, itu pun dibagi lagi menjadi pelari yang rutin berlatih dengan tujuan olahraga dan ada juga pelari musiman, mereka adalah jenis pelari yang mengikuti tren.

Tren lari muncul sejak para penggemar olahraga lari membentuk komunitas, di sini terbentuk ruang komunikasi dan berkembang menjadi pergaulan sosial, lambat laun membentuk simbol sosial. Kemudian sejak berbagai ajang lari bermunculan karena melihat peluang, tren olahraga lari semakin meningkat peminatnya.

Sebenarnya olahraga merupakan aktivitas positif, menyehatkan jiwa, banyak pelari non-atlet yang prestasinya cukup bagus, pelari kategori ini berpartisipasi dalam ajang lari karena ingin meraih prestasi, menguji hasil latihan rutin, atau memang sekadar berolahraga. Mereka turut menjadi katalisator atau penggerak lari semakin digemari.

Menurut Patrick J. McGinnis, motifnya adalah Fear of Missing Out (FOMO), takut kehilangan momentum karena dorongan simbol status sosial dan ditambah dengan perhatian media sosial, lari tidak hanya sebatas olahraga, malah berubah menjadi cara mencari pengakuan eksistensi melalui foto menggunakan medali finisher dan jersey. Biasanya para pelari ini hanya memenuhi acara lari, tidak salah juga karena acara menjadi lebih meriah. Menggunakan atribut mahal, tapi urusan kecepatan dianggap belakangan. Dari sini muncul hype lari. Olahraga yang dulunya murah meriah, kini menjadi ladang cuan.

Cuan, Lari Menjadi Lapangan Bisnis

Semarak ajang lari akhirnya berubah menjadi lahan cuan, para promotor dan event organizer (EO) secara ramai-ramai menyelenggarakan acara lari. Tiba-tiba semua menjadi pelari. Langkah para pencari cuan ini tentu disebabkan oleh bisnis lari yang menjanjikan, peserta mencari keringat sedangkan penyelenggara mencari cuan.

Hukum ekonomi terjadi, pelari eksis di lapangan, bergaya di media sosial, penyelenggara mengambil keuntungan. Menurut data kompas.id, sepanjang tahun 2024 terselenggara 420 lomba lari nasional dengan, jauh lebih banyak dari 161 di 2023 dan hanya 95 di 2022. Gairah ini hanya sempat sunyi pada masa pandemi 2020-2021 silam.

Mulai dari 6 besar ajang lari, terdapat 72.924 pelari, belum termasuk ajang lain yang lebih kecil. Data ini tentu menunjukkan bahwa pasar bisnis olahraga lari bukanlah hal kecil. Jika menghitung ajang menengah dengan jumlah peserta 2.000 pelari dengan harga tiket rata-rata Rp300 ribu, pendapatannya bisa mencapai Rp600 juta, jika digabungkan dengan sponsor dan merchandise diperkirakan mencapai Rp1 miliar. Jika ajang besar, seperti Jakarta International Marathon yang diikuti 31.000 orang, angkanya mencapai Rp9-15 miliar. Menggiurkan kan keuntungan dari keringat.

Persaingan Bisnis dan Potensi Kelelahan

Ekonomi pengalaman saat ini layak disebut sebagai ekonomi pengalaman, karena menargetkan minat para pelari yang mencari pengalaman dan tantangan. Selain mengandalkan penjualan tiket, penyelenggara juga didukung oleh sponsor dan kerja sama dengan pihak lokal. Skema saling menguntungkan.

Namun perlu diperhatikan, maraknya acara lari dapat menyebabkan para pelari bingung dalam memilih ajang, bahkan bisa merasa jenuh karena tingginya repetisi. Sebagai strategi, acara lari dikemas dengan merek dan tema tertentu sebagai perbedaan. Diferensiasi menciptakan identitas yang berbeda, upaya mengatasi persaingan, tema seperti warisan budaya, fun run atau alam bahkan berani mengambil tema budaya. Jadi, para pelari harus cerdas dalam memilih agar kantong tidak kosong.

Faktor keamanan, keselamatan, dan kenyamanan juga sangat penting. Kelebihan kapasitas, kerumunan peserta yang berlebihan, serta pemilihan lokasi yang salah dapat memicu berbagai keluhan dan masalah. Risiko reputasi bagi acara lari dan penyelenggara jika hal ini terjadi. Manajemen logistik harus diatur dengan cermat, mengatur puluhan ribu orang secara bersamaan bukanlah pekerjaan yang mudah. Coba saja ada peserta yang tidak mendapatkan medali, pasti akan mengeluh di media sosial, itu sudah pernah terjadi.

Ada aspek penting lain yang harus dipersiapkan agar ajang lari berjalan lancar dan profesional, harus ada sistem operasional standar (SOP) yang jelas, komunikasi dengan pemerintah daerah untuk perizinan dan hubungan dengan komunitas lari.

Optimalkan teknologi untuk pendaftaran dan administrasi data, hal ini sangat berguna untuk mengurangi waktu tunggu dan mengurangi kerumunan. Perhatikan rencana darurat jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kelengkapan petugas medis, antisipasi cuaca atau gangguan lain.

Sumber keluhan yang sering ditemukan adalah race pack yang lambat, kaos dengan ukuran yang salah, desain yang buruk, atau kualitas yang jelek. Maka dari itu, jaga kualitas vendor, jangan gunakan vendor yang asal-asalan. Hal ini akan sangat berpengaruh pada kelangsungan acara. Dan promosi harus menarik, serta sampaikan hal-hal penting kepada peserta sejak awal, hindari perubahan mendadak.

Di balik berbagai tantangan strategi dan persaingan antar penyelenggara, lari juga memiliki alasan memberikan nilai bagi ekonomi secara berjenjang, yaitu efek pengganda.

Lari, Ekonomi Berlapis dan Bernilai

Efek ajang lari sebagai bisnis olahraga dan sport tourism, total perputaran uangnya diprediksi bisa mencapai Rp1 triliun, sangat besar, karena para pelari tidak hanya sekadar berlari, ada ajang yang diselenggarakan di beberapa tempat wisata, jadi momentumnya dimanfaatkan sebagai kesempatan liburan.

Bayangkan puluhan ribu orang berkumpul di satu kawasan, di mana ada kerumunan di situ ada uang, gampangnya seperti itu. Biaya akumulatif (tiket, akomodasi, konsumsi) menciptakan perputaran uang yang besar. Siapa yang diuntungkan lagi? Para pelaku usaha multi sektor di sekitar lokasi. Hotel, restoran, UMKM dan transportasi, turut memetik cuan.

Ekosistem pasar kerja kreatif juga biasanya terlibat dalam rangkaian acara untuk memberikan pengalaman yang mengesankan bagi para pelari, desainer jersey, videografer, pembuat konten, pengusaha makanan, vendor UMKM, hampir pasti diberdayakan, karena ada misi membagikan keuntungan.

Bagi para sponsor, ternyata ajang lari adalah sarana promosi peralatan olahraga, melalui produk-produknya yang tidak murah, mereka mempromosikan gaya hidup sehat, tentu saja didukung oleh produk yang ditawarkan, baik itu sepatu, peralatan lari atau suplemen. Kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) juga marak digunakan oleh para sponsor untuk menyampaikan program mereka, sekaligus mempromosikan produk, kegiatan sosial juga turut dipromosikan.

Bukan hanya uang, acara lari harus memperhatikan kelangsungan dan kenyamanan daerah sekitar. Jangan sampai terjadi konflik. Hal yang paling fatal adalah jika acara lari meninggalkan sampah dan kotoran, limbah acara akan sangat mengganggu, perhatikan cara penanganan limbah dan semua pihak harus bertanggung jawab, baik pelari maupun penyelenggara. Jaga etika dan perilaku, jangan sampai menyebabkan kemacetan. Penggunaan energi tidak berlebihan, agar pasokan air dan listrik warga tidak terganggu. Semua pihak harus diuntungkan.

***

Sayangnya, setelah menyelesaikan tugasnya, Pheidippides meninggal karena kelelahan. Kisah kepahlawanan Pheidippides kemudian diabadikan menjadi cabang olahraga maraton, lari jarak jauh sepanjang sekitar 42 kilometer. Lebih dari dua abad sejak kisah itu, maraton pertama kali secara resmi menjadi cabang olahraga Olimpiade pada tahun 1896 di Athena.

Jika atlet pemenang lari naik ke podium diiringi lagu We Are The Champions, chorannya, "Kami adalah para juara, teman-teman. Dan kami akan terus bertarung hingga akhir." Sangat emosional, membangkitkan rasa bangga atas prestasi. Sementara bagi para pelari lain, lari menjadi hiburan dan ajang eksis di media sosial. Hanya sekadar mencari keringat katanya, sekaligus wadah untuk mencari keuntungan bagi penyelenggara.

Penulis blog

Tidak ada komentar