
FAISAL, S.T., M.Pd., Kepala SMKN 1 Julok, Ketua IGI Daerah Aceh Timur, dan lulusan UIN Sultanah Nahrasiyah, melaporkan dari Aceh Jaya
PERJALANANdarat dari Kabupaten Aceh Timur ke Meulaboh, ibu kota Aceh Barat, memang tidak pendek. Lebih dari 12 jam kami harus menempuh jalur lintas barat-selatan Aceh yang meliuk-liuk, membelah gunung, dan pesisir, demi mengikuti ajang tahunan Lomba Kompetensi Siswa (LKS) ke-33 Tingkat Provinsi Aceh.
Kelelahan itu terbayar lunas ketika rombongan dari Dinas Pendidikan Wilayah Kabupaten Aceh Timur tiba di titik persinggahan favorit para pelintas, yaitu Puncak Geurutee. Berhenti di Puncak Geurutee rasanya bukan sekadar transit. Ia sudah menjadi semacam "ritual wajib" yang tidak tertulis bagi siapa pun yang menempuh perjalanan panjang di jalur barat.
Angin pegunungan yang lembut tapi menusuk, pemandangan laut berwarna biru tua yang menghampar hingga ke cakrawala, serta barisan warung kayu yang berdiri anggun di tebing curam terasa seperti pelipur lelah yang sempurna.
Kami turun dari masing-masing kendaraan dengan riuh rendah. Sebagian langsung mencari tempat duduk di kafe yang paling pojok, yang spotnya konon paling 'instagramable'. Sebagian lain memesan mi goreng Geurutee dan kelapa muda, dan tentu saja, tidak ketinggalan kopi khas daerah ini: kupi khop’ (kopi terbalik).
Saya membeli kopi
Baru saja kami menikmati semilir angin, sebuah momen kecil tapi lucu terjadi. Salah seorang dari kami, sebut saja F, duduk manis di depan segelas 'kupi khop' yang baru saja disajikan. Gelas kaca itu terbalik, ditutupi piring kecil. Satu sedotan diselipkan di bawah bibir gelas. F terpaku beberapa detik, lalu dengan polosnya bertanya kepada pemilik warung, "Meu'ah Kak, nyoe kiban cara ta jep? (Maaf Kak, ini... bagaimana cara minumnya ya)?"
Kak Cut, pemilik warung, tersenyum sambil menahan tawa. "Nyan 'kupi khop' Pak (Itu kopi terbalik, Pak)."
Caranya ditiup dulu, kemudian disedot perlahan dari bawah.
"Jangan balikkan gelasnya, nanti kopi tumpah," katanya sambil tertawa. Tiba-tiba tawa pun pecah di meja kami.
Tidak lama kemudian, salah satu anggota rombongan lain yang duduk di bangku atas dekat jendela kafe, berinisial SA, berkata dalam bahasa Aceh, “Meunyoe lage nyoe hek bak tajep! Seulama teuingat han kujep lee ‘kupi khop’ (Kalau seperti ini, capek minumnya! Selama teringat takkan kuminum lagi ‘kopi khop’),” katanya dengan lantang, disambut tawa pengunjung kafe.
"Hana buet mita buet! Cok peulaken cilet bak prut (Tidak ada pekerjaan, cari pekerjaan. Ambil bahan bakar oleskan ke perut)," lanjut saya sambil memegang perut karena tertawa terlalu banyak.
Momen sederhana itu membawa kehangatan suasana kebersamaan, yang mungkin tidak akan kami temui di tempat lain.
Puncak Geurutee
Secara administratif, Puncak Geurutee terletak di Lamno, Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya. Dari Banda Aceh, perjalanan ke tempat ini hanya memakan waktu sekitar dua jam dengan jarak tempuh lebih kurang 67 km.
Untuk mencapai Puncak Geurutee, kami harus terlebih dahulu mengatasi kemiringan Gunung Paro dan Gunung Kulu, baru kemudian Geurutee menyambut dengan indahnya.
Deretan kafe yang berdiri di atas tiang panjang di tepi jurang terlihat seperti halaman eksklusif menuju Samudra Hindia. Titik-titik duduk yang langsung menghadap laut sangat cocok untuk menikmati matahari terbenam.
Dari kejauhan, Pulau Keluang tampak seperti lukisan. Pulau yang tidak berpenghuni dengan pasir putih yang masih perawan itu hanya sesekali dikunjungi oleh nelayan atau pecinta alam yang ingin berkemah dan memancing.
Pengunjung tidak hanya datang dari Aceh saja. Menurut Kak Cut, setiap akhir pekan dan libur hari besar, Geurutee ramai dikunjungi oleh wisatawan dari luar daerah. "Kalau Sabtu dan Minggu itu ramai. Kadang ada juga yang datang dari luar Aceh, seperti Medan. Mereka khusus datang ke sini hanya untuk foto-foto dan minum kopi sambil melihat laut," katanya.
Di tengah hembusan angin pegunungan dan semilir aroma kopi panas, saya mencatat beberapa hal menarik yang membuat Puncak Geurutee layak dijadikan destinasi utama, bukan sekadar tempat persinggahan. Tempat ini bukan hanya tentang pemandangan, tetapi juga pengalaman khas yang tidak mudah ditemukan di tempat lain.
Pertama, Geurutee menawarkan sensasi minum kopi di atas jurang. Deretan warung kayu berdiri gagah di tepi tebing curam, dengan posisi menghadap langsung ke Samudra Hindia. Duduk di sana, menyeruput secangkir 'kupi khop' sambil memandangi hamparan laut biru yang luas, adalah pengalaman yang menenangkan jiwa. Tiupan angin laut berpadu dengan aroma kopi menciptakan harmoni yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Kedua, Puncak Geurutee dahulu hanya dikenal sebagai tempat istirahat bagi para pengendara lintas barat Aceh. Kini, tempat ini berkembang menjadi kawasan wisata yang ramai dikunjungi, terutama pada akhir pekan. Warung-warung di kawasan ini umumnya buka hingga pukul 19.00 WIB, siap melayani pengunjung yang datang dari berbagai penjuru.
Ketiga, bagi para pecinta fotografi, Geurutee adalah surga tersembunyi. Setiap sudutnya menawarkan spot swafoto dengan latar laut dan pepohonan hijau. Bahkan, saat kabut tipis turun menjelang sore, suasana di tempat ini berubah menjadi lebih magis, kita seolah-olah berdiri di atas awan.
Keempat, dari ketinggian atas, pengunjung dapat melihat dua pulau kecil yang tidak berpenghuni, yaitu Pulau Keluang dan Pulau Ujong Seudun. Masyarakat sekitar menyebutnya Pulau Tsunami karena sebagian Desa Ujong Seudun terpisah menjadi sebuah pulau setelah tsunami melanda Aceh pada tahun 2004 lalu. Meskipun jarang dikunjungi, keberadaan pulau-pulau ini menambah daya tarik visual Puncak Geurutee.
Terakhir, bagi yang beruntung, pengalaman akan semakin lengkap dengan kehadiran kera dan orang utan (mawas) yang menghuni hutan sekitar. Kawanan kera sering turun mendekati kafe dan telah terbiasa dengan kehadiran manusia, menjadikan interaksi mereka sebagai hiburan tersendiri bagi para pengunjung.
Ada hal yang membuat kami lebih kagum, bukan hanya pemandangannya yang luar biasa. Harga makanan dan minuman di sini juga sangat ramah. Mie goreng khas Geurutee, kelapa muda, dan 'kupi khop' bisa dinikmati tanpa membuat dompet terasa berat.
"Kadang saya juga heran, tempat sebagus ini, tapi harganya seperti warung biasa. Mungkin karena pedagang di sini lebih senang melihat orang datang ramai daripada mendapat keuntungan besar," celetuk salah seorang guru yang ikut rombongan.
Kami akhirnya melanjutkan perjalanan ke Meulaboh menjelang tengah hari. Matahari mulai naik, menebarkan cahaya keemasan yang menyapu permukaan laut.
Di balik kaca mobil, saya masih memandangi Geurutee yang perlahan-lahan menghilang dari pandangan. Namun, aroma kopinya dan tawa-tawa kecil tadi, rasanya masih melekat dalam ingatan.
Perjalanan ke LKS kali ini terasa berbeda karena bukan hanya membawa semangat bertanding, tetapi juga oleh-oleh cerita tentang keindahan alam dan kebersamaan yang tulus.
Puncak Geurutee bukan sekadar titik transit, melainkan juga destinasi yang layak dijadikan agenda utama saat menapaki jalur barat-selatan Aceh.
Tidak ada komentar