Beranda
bisnis
Refleksi tentang Transformasi Digital Perbankan
Redaksi
Juli 15, 2025

Refleksi tentang Transformasi Digital Perbankan

Sangat kreatif, mungkin istilah itu tepat disematkan bagi Gene Roddenberry karena ia telah menciptakan salah satu serial fiksi ilmiah Star Trek. Di serial ini penonton sering diperlihatkan berbagai perangkat canggih seperti teleconference atau alat pemindai wajah. Sehingga bisa dikatakan Gene Roddenberry sudah memiliki bayangan soal perangkat digital di masa lalu yang lazim digunakan masa kini.

Saat teknologi semakin canggih, perangkat gawai menjadi akrab dengan kegiatan manusia, sehingga interaksi antar individu juga terpengaruh, yang sebelumnya banyak bergantung pada sentuhan fisik atau human touch atau luar jaringan, kini berubah menjadi dalam jaringan (daring), pemicunya adalah penggunaan smartphone atau ponsel.

Dampaknya sangat luas, dapat dipastikan saat ini hampir seluruh transaksi terhubung melalui perangkat gawai atau digital, termasuk bank sebagai lembaga jasa keuangan. Keberadaan layanan atau fitur digital merupakan hasil dari tuntutan perubahan iklim industri karena didorong oleh kemajuan teknologi.

Perbankan menjadi akrab dengan transformasi digital sebagai respons terhadap peta persaingan. Menurut Klaus Schwab, ahli ekonomi digital, transformasi digital merupakan bagian dari Revolusi Industri 4.0, di mana integrasi teknologi seperti AI, IoT, dan big data mengubah cara perusahaan beroperasi dan bersaing.

Gartner, Inc. menyebutnya sebagai proses pemanfaatan teknologi digital untuk menciptakan inovasi radikal dalam model bisnis, proses, dan pengalaman pelanggan guna memenuhi tuntutan pasar yang terus berubah.

Jadi yang sesungguhnya terjadi di perbankan Indonesia adalah transformasi digital, bank bukan hanya semata-mata menyediakan layanan berbasis teknologi tapi dituntut secara organisasi, budaya dan kerangka kerja berbasis teknologi.

Setelah masa kejayaan bank digital yang sempat ramai beberapa tahun lalu, bagaimana kabar mengenai bank digital dan transformasi digital perbankan di Indonesia?

Perbedaan Proses Perbankan Digital Indonesia dan Global

Merujuk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.03/2021, mengenai bank digital disebutkan sebagai berikut: Bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah, yang dalam kegiatannya tidak menyediakan layanan melalui kantor fisik (tanpa cabang) atau dapat menyediakan layanan melalui kantor fisik yang terbatas, dan terutama menggunakan sarana elektronik atau digital dalam menjalankan kegiatan usahanya.

Kemudian dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.03/2023 ditegaskan bahwa Bank Konvensional atau Bank Syariah yang menyelenggarakan kegiatan usaha terutama melalui saluran elektronik tanpa memiliki kantor fisik atau hanya memiliki kantor fisik terbatas, serta memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam POJK ini.

Jadi pada dasarnya hingga saat ini, berdasarkan kedua aturan tersebut, seluruh bank yang mengklaim sebagai digital dengan izin operasional yang diakui OJK adalah bank konvensional atau syariah yang memiliki layanan non-fisik atau elektronik, mungkin tanpa memiliki kantor fisik atau secara terbatas. Intinya, secara resmi belum ada bank digital murni.

Proses pembentukan bank digital melalui POJK Nomor 12/2021 tentang Bank Umum dan POJK Nomor 12/2023 tentang Penyelenggaraan Produk dan Aktivitas Bank di Indonesia adalah investor membeli atau mengakuisisi bank umum kemudian layanan operasionalnya dibuat berbasis elektronik dengan memangkas kantor cabang dan meminimalkan proses manual.

Sementara contoh kasus di luar negeri, ekosistem bank digital dibentuk dari nol atau greenfield. Regulator setempat menyediakan izin baru khusus untuk bank digital murni, tanpa kewajiban memiliki cabang fisik.

Sehingga jika mengikuti contoh KakaoBank di Korea Selatan atau Monzo di Inggris, sejak awal berdirinya mereka sudah berbasis teknologi, dengan persyaratan memenuhi ketentuan modal, tata kelola, manajemen risiko, dan sistem informasi teknologi yang setara dengan bank umum.

Perbedaan proses ini membuat tahapan perkembangan bank digital di Indonesia tidak dapat disamakan begitu saja dengan negara lain, baik dari sisi regulasi maupun industri, sehingga lebih tepat mengatakan bahwa bank di Indonesia memasuki masa transformasi digital.

Pandangan dan Arah Kebijakan Regulator

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Roadmap Pengembangan Perbankan Indonesia 2020-2025 terus mendorong bank untuk mengadopsi teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (AI) dan API, serta memperkuat kolaborasi dengan fintech.

Aspek keamanan data pribadi, persaingan yang ketat, dan profitabilitas menjadi fokus utama. Dengan disahkannya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), bank diharapkan dapat semakin memperkuat perlindungan data nasabah.

Kasus peretasan dan kebocoran data, seperti yang dialami BSI oleh kelompok peretas LockBit 3.0 yang menggunakan ransomware, menjadi contoh nyata pentingnya bank untuk lebih menjaga dan memperkuat sistem pertahanannya.

Secara umum arah dan kebijakan OJK terarah pada beberapa hal:

1. Menjaga Stabilitas dan Keamanan Sistem Keuangan

Melalui POJK 12/2021 dan 12/2023, OJK menetapkan modal minimum sebesar Rp10 triliun, manajemen risiko digital, dan infrastruktur TI sebagai syarat utama.

2. Inovasi yang Dikendalikan

Produk digital baru harus melewati sandbox - lingkungan pengujian yang diawasi oleh regulator sebelum dirilis secara luas.

3. Perlindungan Nasabah

Penekanan pada keamanan siber, biometrik, enkripsi, dan pencegahan penipuan.

4. Inklusi dan Literasi Keuangan Digital

Pendidikan dan perluasan akses bagi UMKM serta masyarakat luas menjadi prioritas.

Persaingan Perbankan dalam Layanan Digital

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan bahwa nilai transaksi melalui saluran digital perbankan mencapai 87 kuadriliun rupiah pada Desember 2024. Angka ini menunjukkan pertumbuhan yang sangat kuat, yaitu sebesar 50,6% secara year-on-year (yoy).

Tren transaksi berbasis elektronik atau non-tunai memang semakin diminati masyarakat, tidak heran jika bank saling berlomba untuk menyediakan layanan digital terbaik, meskipun menghadapi situasi yang cukup menantang juga.

Masalah mendasar transformasi digital di perbankan Indonesia mencakup banyak aspek, karena faktor ekosistem lama yang sudah terbiasa dengan proses manual, seiring tuntutan persaingan memaksa mereka harus melakukan perubahan, munculnya kesenjangan dari sisi kesiapan SDM, infrastruktur, dan budaya.

Secara umum, bank digital dan bank lainnya di Indonesia menghadapi situasi yang sama karena berasal dari arah dan kebijakan OJK yaitu

1. Akses Infrastruktur dan Validasi Data

Jangkauan ke daerah terpencil masih menjadi kendala, ditambah isu integrasi dan keakuratan data e-KYC.

2. Model Bisnis dan Monetisasi

Banyak bank digital masih berada di fase pengakuisisan dan ekspansi, belum menghasilkan laba yang signifikan.

3. Keamanan Siber dan Kepercayaan

Perpindahan ke sistem digital membuka celah serangan. Insiden sekecil apa pun dapat merusak reputasi bank.

4. Persaingan dan Perbedaan

Produk dan layanan yang seragam memaksa bank untuk berinovasi melalui kolaborasi dan pengalaman pengguna yang unik.

5. Sumber Daya Manusia dan Infrastruktur TI

Keterbatasan tenaga ahli dan biaya tinggi menjadi tantangan, sehingga banyak bank mengandalkan vendor dan konsultan.

Biaya investasi di bidang TI tidak murah, contoh Bank Maspion memang mengalokasikan dana sebesar Rp 3 triliun sebagai capital expenditure (capex) untuk pengembangan digital. Maka keberlangsungan dan pencapaian target bisnis bank digital perlu diperhitungan sangat matang.

Pada September 2021, Jahja Setiadmaja yang saat itu masih menjabat sebagai Direktur Utama BCA pernah menyatakan bahwa di masa depan diperkirakan hanya akan ada sekitar tiga bank digital besar yang akan bertahan dan mendominasi pasar di Indonesia.

Dan menurutnya kuncinya adalah ekosistem yang kuat, modal bank, mampu mencapai skala ekonomi yang luas, keunggulan dalam pengalaman pengguna yang memuaskan. Meskipun banyak pemain yang muncul, persaingan yang intensif dan tuntutan investasi besar akan menyaring pemain yang kurang efisien atau yang tidak memiliki dasar yang kuat.

***

Sebuah refleksi dari film fiksi ilmiah seperti Star Trek, terkadang imajinasi mendorong pemikiran tentang potensi teknologi, tantangan masa depan, dan makna peradaban. Di era modern ketika segalanya bergantung pada keberadaan teknologi, muncul pertanyaan bagaimana kehidupan akan berjalan jika suatu saat semua jaringan koneksi antar perangkat mengalami gangguan. Seberapa bergantung kita?

Ini bukan lagi sekadar skenario fiksi ilmiah, melainkan sebuah ujian nyata bagi ketahanan dan kebijaksanaan peradaban. Jika kita memilih jalur konsolidasi digital yang ekstrem, maka tanggung jawab untuk membangun resiliensi yang luar biasa besar terletak pada segelintir pemain dominan tersebut, menuntut investasi keamanan siber dan rencana kontingensi yang berlapis. Namun, bukankah ini juga saatnya kita merenungkan kembali makna kemajuan?

Penulis blog

Tidak ada komentar