Beranda
Berita lokal
budaya
indonesia
pendidikan
Pendidikan Publik
2 Dekade Rumah Belajar Senen: Menanam Mimpi di Gang Sempit Jakarta di Pinggir Rel
Redaksi
Agustus 11, 2025

2 Dekade Rumah Belajar Senen: Menanam Mimpi di Gang Sempit Jakarta di Pinggir Rel

JAKARTA, NOIS.CO.ID- Di sebuah gang kecil yang padat penduduk di Jalan Dahlia, Senen, Jakarta Pusat, berdiri sebuah rumah sewaan yang tak pernah sepi setiap akhir pekan.

Rumah itu dibangun di tepi rel kereta api yang hanya dipisahkan oleh dinding semen sederhana.

Terlihat bendera merah putih melintang di atas jalan sempit menuju rumah tersebut. Pintu besi berwarna biru terbuka lebar, deretan sandal dan sepatu anak-anak berjejer di depan rumah.

Suara kereta yang melintas menjadi latar dari kegiatan di rumah itu. Inilah Rumah Belajar Senen (RBS), sebuah ruang pendidikan alternatif yang telah berkiprah sejak tahun 2005.

Ruangan utama RBS berukuran sekitar 7x3 meter. Lantai keramik berpola kotak-kotak cokelat menyambut siapa pun yang datang.

Dinding kanan dihiasi mural berwarna-warni yang bertuliskan "Selamat Datang di Rumah Belajar Senen".

Di bagian depan, dua kipas angin bekerja keras mengusir panas. Selain itu, tampak pula beberapa peralatan pendukung sepertipembicara, papan tulis, meja kecil, dan satu kursi plastik hitam.

Sementara itu, bagian belakang ruangan berfungsi sebagai perpustakaan. Terlihat rak buku berwarna putih yang penuh dengan koleksi bacaan, deretan piala, dua miniatur bola dunia, hingga sertifikat.

Biasanya, di sinilah para relawan muda mengajar anak-anak dengan materi kreatif, mulai dari matematika, membaca, hingga bahasa Inggris.

Namun, Sabtu (9/8/2025) siang, tidak ada kelas seperti biasa. Anak-anak sedang mempersiapkan acara peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia.

Jam menunjukkan pukul 13.00 WIB. Satu per satu anak dipanggil namanya untuk presensi sambil mengangkat tangan.

Tidak ada yang keberatan meskipun pembelajaran rutin dihentikan. Anak-anak dibagi ke dalam beberapa kelompok untuk tampil memeriahkan HUT ke-80 RI, seperti kelompok tari, musik, dan drama.

Tawa dan canda memecah keheningan. Anak-anak ini tampak antusias untuk berlatih menjadi penampil.

Penuh liku

RBS didirikan 20 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2005. Rumah belajar ini diinisiasi oleh pemuda-pemudi Gereja Kristen Indonesia (GKI) Kwitang bersama komunitas Sahabat Anak.

Awalnya, para pemuda dan pemudi mengumpulkan anak-anak marginal di Taman Gunung Agung, Kwitang, untuk mengisi akhir pekan. Kegiatannya bisa berupa menggambar, mewarnai, dan mengisi teka-teki silang.

Namun, perjalanan tidak mulus. Kegiatan sempat berpindah-pindah karena masalah izin.

Aktivitas RBS juga pernah berlangsung di halaman sekolah hingga Monas.

Pada tahun 2006, para relawan pernah menyewa rumah di Jalan Kaca Piring, Senen, lalu pindah lagi. Bahkan, rumah belajar ini pernah vakum selama dua tahun.

Baru pada tahun 2011, relawan menemukan rumah kontrakan di Jalan Dahlia ini. Berkat dukungan warga, tidak ada lagi beban sewa dan kegiatan berjalan lebih rutin.

Awalnya hanya pertemuan akhir pekan, kini ada kelas tambahan membaca, menulis, menghitung (calistung), bahasa Inggris, hingga keterampilan seni.

Rumah kedua

Dinda (30), karyawan swasta yang telah delapan tahun menjadi relawan menyebut RBS sebagai rumah keduanya.

"Awalnya diajak teman, tidak berniat. Tapi di sini aku belajar komunikasi, kesabaran, dan ternyata bukan hanya mereka yang belajar dari kita, kita juga belajar dari mereka," ujar Dinda kepadaNOIS.CO.IDsaat ditemui di Senen, Jakarta Pusat.

Bagi Dinda, tantangan terberat adalah bertemu anak-anak hanya seminggu sekali, sehingga pemantauan perkembangan terbatas. Namun, ia yakin, pendampingan ini tetap berdampak.

"Melihat anak yang dulu SD sekarang SMP atau SMA, rasanya senang. Meskipun kecil, perubahan itu berarti bagi mereka," katanya.

Relawan lain, Avin (26), bergabung pada Juli 2024. Ia awalnya mengira kegiatan di RBS hanya mengajar, namun ternyata jauh lebih luas.

Ada jambore, berkemah, hinggapembangunan kapasitasSetiap bulan. Kita ajarkan sopan santun, membuang sampah, dan berani tampil di depan," katanya.

Avin menilai, di tengah maraknya anak-anak bermain gawai, masih ada yang kesulitan membaca dan berhitung.

"Itu tugas besar. Tapi di sini, mereka tidak hanya belajar pelajaran, tetapi juga membentuk karakter," katanya.

Sementara itu, Dini (14), bukan nama sebenarnya, siswi kelas 2 SMP, belajar di RBS sejak kelas 1 SD.

"Aku sejak kecil, sejak kelas 1 SD. Aku di sini, banyak teman, banyak kenalan. Kakak-kakaknya baik," katanya sambil tersenyum.

Dini memiliki cita-cita menjadi dokter karena menyukai mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Ia mengatakan, pelajaran yang diperoleh di RBS, termasuk bahasa Inggris, membantunya di sekolah formal.

"Suka bisa belajar di RBS. Orang tua juga senang aku belajar di sini," katanya.

Swadaya

Meskipun sudah berusia dua dekade, RBS masih mengandalkan relawan dan donatur. Dukungan warga sekitar menjadi kekuatan utama.

"Harapannya, RBS tetap ada, regenerasi berjalan, dan bisa terus membantu pendidikan anak-anak miskin," kata Dinda.

Sebagai relawan yang turun langsung mengajarkan pendidikan kepada anak-anak yang kurang diperhatikan, Dinda berharap pemerintah tidak mengabaikan pendidikan anak-anak Indonesia.

"Indonesia merdeka itu bila semua anak, di kota maupun pelosok, bisa merasakan pendidikan yang layak," katanya.

Mengacu pada RBS, ternyata di gang sempit yang bersebelahan dengan rel kereta, merayakan kemerdekaan memang tidak selalu dengan bendera dan lomba. Namun, terkadang ia hadir dalam bentuk buku, papan tulis, dan tawa anak-anak yang belajar dengan bebas.

Penulis blog

Tidak ada komentar