
NOIS.CO.ID --.CO.ID - JAKARTA . Asosiasi Bauksit Indonesia (ABI) mengungkap smelter bauksit milik perusahaan China Di Indonesia, harga bauksit yang dibeli oleh perusahaan dari para penambang tidak mengacu pada Harga Patokan Mineral (HPM) yang telah ditetapkan pemerintah lewat aturan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Menurut Ketua Umum ABI, Ronald Sulistyano menyatakan bahwa ketidaksesuaian antara harga dengan HPM mendorong para pelaku usaha untuk menghentikan produksi di pertambangan mereka.
"Tercatat di kami, dari 69 pengusaha tambang, sekarang hanya sekitar 15 sampai dengan 20 pengusaha saja yang masih berproduksi," ungkap Ronald saat dikonfirmasi, Minggu (04/05).
Ronald menambahkan, sebagian besar tambang yang masih beroperasi adalah tambang dengan kapasitas yang besar.
"Selebihnya hanya bertahan hidup agar mesin produksinya gak karatan, supaya juga tidak merumahkan karyawannya," tambahnya.
Usai pemerintah menetapkan larangan ekspor bauksit mentah pada 11 Juni 2023, penambang bauksit harus menjual bauksit yang ditambang kepada smelter dalam negeri.
Sayangnya, smelter bauksit di dalam negeri yang dipakai untuk memproses bauksit jadi alumina kebanyakan dikuasai oleh perusahaan dari China lewat bentuk usaha penanaman modal asing (PMA).
"Semua (smelter) China. H Hampir seluruhnya belum mengimplementasikan HPM. ," ungkapnya.
Di dalam pasar lokal, menurut Ronald, contoh dari pabrik pengolahan yang menggunakan harga dekat dengan Harga Patokan Market (HPM) adalah pabrik smelting yang dimiliki oleh PT Well Harvest Winning (WHW) Alumina Refinery, sebagai perusahaan joint venture antara China Hongqiao Group Co. Ltd, PT Cita Mineral Investindo Tbk (Grup Harita), Winning Investment (HK) Company Limited, serta Shandong Weiqiao Aluminium & Electricity (WHW).
"Beberapa orang mengizinkan fleksibilitas seperti WHW, sementara yang lain merasa bahwa harganya tetap di bawah HPM," jelasnya.
Untuk di ketahui, harga mineral yang merujuk HPM memiliki fungsi utama sebagai acuan harga dalam transaksi penjualan mineral mentah di dalam negeri, khususnya untuk memastikan harga jual bijih tidak terlalu rendah.
Pelanggaran terhadap HPM di Indonesia yang dilakukan oleh pemilik smelter bauksit, menurut Ronald, sebagian disebabkan oleh ketidakefektifan dalam hal pengawasan aturan HPM tersebut.
"Peraturan mengenai hal tersebut (HPM) cukup lunak," ujarnya.
Berikut ini adalah informasi bahwa sesuai dengan Keputusan Menteri ( Keputusan Menteri ESDM Nomor 72.K/MB.01/MEM.B/2025 menyebutkan bahwa Harga Patokan Minyak (HPM) akan diumumkan dua kali setiap bulan, sesuai dengan pergantian Harga Mineral Acuan (HMA), yang merupakan bagian penting dalam proses penghitungan tersebut.
Sebelumnya, mengenai Keputusan Menteri, Ronald juga menyatakan pentingnya pemantauan tentang pemanfaatan HPM dalam pasar lokal.
"Bahkan saat ini masalah utamanya untuk mineral yang lain, atau mungkin kita lebih fokus pada bauksit, adalah tentang cara mengikuti aturan HPM tersebut," ujarnya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif dari Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Bisman Bachtiar, menyatakan bahwa dengan diberlakukannya larangan ekspor, posisi tawar pelaku usaha tambang bauksit menjadi rendah, karena mereka tidak ada pilihan selain menjual ke market domestik.
Menurutnya, pembangunan smelter untuk mengubah bauksit menjadi alumina serta smelter lain yang merubah alumina menjadi aluminium harus dijalankan apabila pemerintah berkeinginan meningkatkan nilai tambah bauksit dalam negeri.
"Sekilas memang tampak bahwa untuk pangsa pasarnya di dalam negeri harganya akan anjlok, namun Pemerintah perlu mengakselerasi pembangunan smelter bauksit dan juga menciptakan sektor-sektor industri yang terkait dengan bahan mentah tersebut," demikian penutupannya.
Tidak ada komentar