Beranda
NEWS
Dari Kaki Gunung Ciremai ke Panggung Internasional: Titi dan Kopi Cibeureum
Redaksi
Juli 08, 2025

Dari Kaki Gunung Ciremai ke Panggung Internasional: Titi dan Kopi Cibeureum

Di kaki Gunung Ciremai, di sebuah desa kecil bernama Cibeureum, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, tumbuh semangat besar dari seorang perempuan yang tidak hanya menyeduh kopi, tetapi juga meracik masa depan komunitasnya: Titi Nuryati, 34 tahun.

Awalnya, tidak ada niat besar untuk menjadi pelaku utama di dunia kopi. Semua dimulai secara tidak sengaja dari sebuah festival seni internasional bernama Jagakali Art Festival di Cirebon.

Titi terlibat sebagai relawan logistik, dan saat itu membawa 10 kilogram kopi dari desanya untuk dibagikan kepada peserta festival.

Tak terduga, aroma dan rasa kopi itu menarik perhatian peserta, salah satunya Mama Patih dari Keraton Kanoman, yang kemudian menyarankan untuk membuat merek sendiri.

Itulah titik baliknya. Saran dari Mama Patih menjadi pemantik semangat. Titi mulai belajar tentang pengolahan kopi dari nol.

Asal Usul 'Sekarwangi'

Titi rajin berdiskusi dengan barista dan petani lain, bahkan menjalin hubungan dengan para prosesor kopi dari Lampung, Kerinci, hingga Solok. Semua dilakukan dengan semangat otodidak dan gotong-royong.

Dari sana lahir Sekarwangi pada tahun 2018,merkkopi lokal dari Cibeureum yang kini menembus pasar internasional mulai dari Prancis, Belanda, Australia, Jepang, hingga Arab Saudi.

Meski pengiriman masih terbatas di bawah 10 kilogram per negara, langkah ini sudah membuka jalan luas bagi kopi robusta asal kaki Gunung Ciremai itu.

Bersama Perempuan Tangguh: KWT Srikandi

Kesuksesan Titi tidak berhenti di kopi. Melihat peran aktif perempuan dalam proses panen dan pasca-panen, ia menggagas berdirinya Kelompok Wanita Tani (KWT) Srikandi bersama ibu-ibu para istri petani kopi di daerahnya.

"Dimulai dari kegiatan sederhana seperti pengolahan hasil panen sayuran selama menunggu masa tunggu panen kopi atau masa paceklik kopi, kelompok ini berkembang menjadi komunitas pemberdayaan yang solid," kata Titi kepadaNOIS.CO.IDdi rumahnya, Minggu (6/7).

Saat wabah menyebar, Titi mengungkapkan, mereka tidak menyerah. KWT Srikandi justru semakin produktif dengan program pemanfaatan lahan pekarangan yang didukung oleh Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Kuningan.

Mereka menanam tomat, kangkung, bayam, hingga kembang kol, yang pernah disuplai ke supermarket di Bandung melalui PT Antakadewa Agriculture.

"Setiap anggota kita beri 30polybags, mereka menanam di rumah. Lumayan untuk kebutuhan harian. Cabai, kangkung, tomat, cukup dipetik," kata Titi.

Kopi sebagai Napas Ekonomi

Kini, kelompok tani Sekar Manik Sejahtera dan KWT Srikandi mengelola lahan seluas 11 hektare milik sendiri, dan mendapat tambahan 20 hektare lahan garapan dari kerja sama dengan PT Geger Halang.

"Sistemnya bagi hasil, 60 persen kepada petani penggarap dan 40 persen untuk pemilik lahan," katanya.

Dengan varietas robusta unggulan seperti Tugu Ijo, Tugu Kuning, dan Tugusari, produksi kopi mereka bisa mencapai 20 ton per musim, tergantung cuaca.

"Namun tahun 2024 hanya menghasilkan sekitar 3 ton karena dampak El NiƱo yang menyebabkan gagal bunga," katanya.

Dari Lampung 1975

Titi menceritakan, kopi-kopi unggulan tersebut berasal dari Lampung, dimulai pada tahun 1975 warga Cibeureum melakukan transmigrasi ke Lampung. Mereka menanam kopi dengan diberi lahan satu hektare per kepala keluarga (KK).

"Pada tahun 1982, warga Cibeureum kembali ke sini, termasuk ayah saya, yang membawa kopi varietas unggulan dari Lampung dan ditanam di sini," katanya.

Titi menjelaskan dari bunga kopi hingga waktu panen membutuhkan waktu sekitar 8 bulan hingga 9 bulan lamanya.

"Dari hasil panen hingga biji kopi yang layak di-memanggang"membutuhkan waktu pengeringan atau penjemuran sekitar 14 hari hingga 20 hari," jelasnya.

Sementara waktu panen dibagi menjadi tiga kali, biji pertama yang dipanen biasanya diambil dari yang sudah terkena atau dimakan hama.

Panen kedua, dengan jarak beberapa hari dari panen pertama, mengambil buah kopi yang sudah matang. Panen ketiga dengan jarak waktu yang sama mengambil semua baik yang matang atau belum matang.

"Jadi biji kopi pilihan itu saat panen kedua, sedangkan biji kopi pertama dan kedua kualitasnya kurang bagus, karena campur antara biji kopi matang dan belum matang," katanya.

Dari Tanah ke Cangkir Dunia

Pemrosesan kopi masih dilakukan secara tradisional, dengan metode pengeringan alami yang bergantung pada matahari. Meskipun teknologi belum sepenuhnya merata, kualitas kopi mereka tetap bisa bersaing.

"Ada mesin pengering, tapi rusak. Jadi sekarang kalau ingin pengeringan yang cepat pergi ke tempat lain yang memiliki mesin pengering," katanya.

Titi memasarkan produknya melalui media sosial, terutama Instagram, yang menjadi jembatan komunikasi dengan pelanggan luar negeri.

Produknya kini mencakup kopi bubuk,campuran kopi, hingga kopisachetinstan yang praktis.

"Harga kopi robusta Sekarwangi sekitar Rp 140.000-150.000 per kilogram. Sementara kopi arabikaanggurdapat mencapai Rp 85.000 per 200 gram," katanya.

Lebih dari Sekadar Petani

Menutup perbincangan, Titi menyampaikan harapannya kepada generasi muda.

"Jangan pernah malu menjadi petani, karena petani adalah penyangga tatanan negara. Kita bisa membiayai keluarga dan berkontribusi untuk negeri ini hanya dengan menanam dan merawat tanah," katanya.

Kisah Titi adalah kisah tentang ketekunan, kreativitas, dan keberanian bermimpi besar dari desa kecil. Dari sebongkah tanah Cibeureum, aroma kopi Sekarwangi kini melanglangbuana, menyeduh dunia dengan cita rasa lokal yang mendunia.‎

Titi membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari hal kecil, bahwa kopi bukan sekadar minuman, tapi jembatan menuju kemandirian dan harapan.

Penulis blog

Tidak ada komentar