Beranda
berita
kasus kriminal
kejahatan
laporan polisi
Faisal Tanjung, Sumber Laporan Guru Rasnal-Abdul Muis Dipecat Karena Rp20 Ribu, Dipanggil Polisi
Redaksi
November 16, 2025

Faisal Tanjung, Sumber Laporan Guru Rasnal-Abdul Muis Dipecat Karena Rp20 Ribu, Dipanggil Polisi

Faisal Tanjung, Sumber Laporan Guru Rasnal-Abdul Muis Dipecat Karena Rp20 Ribu, Dipanggil Polisi
Ringkasan Berita:
  • Sudah dipecat karena Rp20 ribu untuk gaji guru honorer, pelapor Faisal Tanjung kini dipanggil polisi
  • Faisal juga mempertanyakan tuduhan yang berkembang setelah putusan pengadilan dan proses rehabilitasi muncul.
  • Faisal menegaskan tidak memiliki kepentingan pribadi maupun menerima imbalan dari pihak mana pun
 

NOIS.CO.IDNasib Faisal Tanjung, sosok yang pernah melaporkan dugaan pungutan liar sebesar Rp20 ribu oleh guru Rasnal-Abdul Muis, kini dipanggil pihak kepolisian.

Ia dimintai keterangan oleh pihak kepolisian terkait laporannya mengungkap Faisal.

"Tadi siang saya dimintai keterangan di Polres Luwu Utara terkait laporan saya dan itu saya benarkan bahwa saya melaporkan hal tersebut. Jadi pemanggilan di polisi tidak ada hal lain selain hal itu, yaitu membenarkan bahwa saya yang membuat laporan di Kepolisian," kata Faisal saat dikonfirmasi melalui panggilan telepon, Jumat (14/11/2025) sore, dikutip Kompas.com.

Laporan tersebut didasarkan pada informasi seorang siswa, yang mengaku adanya pungutan di sekolah, jelas Faisal.

Ia juga menyebut menerima bukti berupa pesan dari salah satu guru yang meminta siswa segera melunasi dana komite sebelum pembagian rapor.

"Terdapat pesan di grup kelas XII Mipa 1 waktu itu. Guru mengingatkan siswa untuk membayar komite sebelum pembagian rapor. Dalam chat tersebut terkesan bahwa pembagian rapor tidak akan berjalan lancar jika komite tidak dibayar," jelasnya.

Menurut Faisal, ia kemudian pergi ke rumah Abdul Muis untuk meminta penjelasan secara langsung.

"Saya datang ke Pak Muis untuk menanyakan hal itu. Dia mengatakan itu adalah sumbangan, bukan pemungutan. Saya bertanya, kalau sumbangan mengapa ditetapkan sebesar Rp 20.000 per siswa? Dia menjawab itu hasil kesepakatan para orang tua," katanya.

"Menurut saya, sumbangan itu diperbolehkan, tetapi dalam bentuk barang, bukan uang dengan jumlah tertentu," tambahnya.

Faisal mengakui kedatangannya saat itu murni untuk klarifikasi. Namun, ia merasa respons yang diterima justru membuat dirinya merasa "ditantang".

"Saya datang dengan baik-baik, tapi justru dikatakan, jika merasa ada pelanggaran, silakan laporkan. Jadi saya melaporkan," katanya.

Faisal juga mempertanyakan tuduhan yang berkembang setelah putusan pengadilan dan proses rehabilitasi muncul.

"Saya melaporkan berdasarkan informasi yang saya terima. Jika akhirnya diadili dan dinyatakan bersalah, berarti laporan saya tidak salah. Tapi mengapa saya yang disalahkan?" katanya lagi.

Faisal menegaskan tidak memiliki kepentingan pribadi maupun menerima imbalan dari pihak mana pun

"Dari proses di pengadilan hingga provinsi tidak ada kaitannya dengan saya. Tapi yang beredar, saya disebut menerima suap. Itu sama sekali tidak benar," katanya. Faisal mengaku kecewa karena merasa menjadi sasaran kemarahan publik.

"Di mana kesalahan saya? Seperti saya dijadikan tersangka untuk mendapatkan simpati. Siapa yang harus bertanggung jawab?" katanya.

Seperti yang diketahui, Rasnal dan Abdul Muis dilaporkan terkait kasus pungutan dana sebesar Rp20 ribu dari orangtua siswa yang digunakan untuk membayar gaji 10 guru honorer.

Bahkan kedua guru tersebut dipecat tidak dengan hormat setelah dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) hingga pernah menjalani masa tahanan di Rutan Masamba.

Setelah kedua guru direhabilitasi, sosok pelapor yang pertama kali membuka kasus ini menjadi banyak dibicarakan.

Kronologi Sedih Guru Diberhentikan

Kasus yang dialami Rasnal dimulai pada Januari 2018, tidak lama setelah Rasnal dilantik menjadi Kepala SMA Negeri 1 Luwu Utara.

Sekitar sepuluh guru honorer datang mengadu karena honor mengajar selama sepuluh bulan pada 2017 belum dibayarkan.

Sebagai kepala sekolah baru, ia bertanya kepada bendahara dan staf Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP).

Dalam Petunjuk Teknis (Juknis) dana BOSP, hanya guru yang memenuhi empat syarat—terdaftar di Dapodik, memiliki NUPTK, SK Gubernur, dan surat tugas mengajar—yang berhak menerima honor.

Rasnal mengadakan rapat dewan guru untuk mencari solusi, kemudian melibatkan komite sekolah dan orang tua siswa pada 19 Februari 2018.

Rapat itu menghasilkan kesepakatan: sumbangan sukarela sebesar Rp 20.000 per bulan per siswa, dikelola oleh komite untuk membantu honor guru.

"Semua orang tua setuju. Tidak ada paksaan, tidak ada yang menolak. Komite sendiri yang mengetuk palu," kata Rasnal dilaporkan dari Kompas.com.

Pada tahun 2020, muncul laporan dari sebuah LSM yang menilai sumbangan orang tua sebagai pungutan liar (pungli).

Setelah itu, ia menjalani pemeriksaan hingga persidangan sampai akhirnya dihukum bersalah oleh Mahkamah Agung.

Rasnal menjalani hukuman satu tahun dua bulan, delapan bulan di penjara dan sisanya di tahanan kota.

"Saya tidak punya uang 50 juta untuk membayar denda, jadi saya jalani semuanya," katanya.

Setelah bebas pada 29 Agustus 2024, Rasnal kembali mengajar di SMA Negeri 3 Luwu Utara.

Namun, gajinya tidak lagi masuk ke rekening sejak Oktober 2024.

Akhirnya, keputusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Sulsel melalui Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.2/3973/BKD.

"Saya diam lama. Saya berpikir, beginikah nasib seorang guru yang ingin membantu?" katanya perlahan.

Sementara itu, Abdul Muis ditunjuk oleh rapat orang tua siswa dan pengurus komite untuk mengelola dana sumbangan sukarela.

"Saya diangkat menjadi bendahara komite melalui hasil rapat orang tua siswa dengan pengurus. Jadi posisi saya hanya menjalankan amanah," kata Abdul Muis kepada Kompas.com saat ditemui di sekretariat PGRI Luwu Utara, Senin (10/11/2025).

Delapan bulan sebelum masa pensiunnya, ia secara resmi dihentikan dari status PNS berdasarkan putusan MA Nomor 4265 K/Pid.Sus/2023 tanggal 26 September 2023, dan dilanjutkan dengan Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.4/4771/BKD tentang pemberhentian dirinya sebagai guru ASN.

Relawan Orang Tua Bayar Dana 20 Ribu Rupiah

Sejumlah fakta mengenai kasus pemecatan dua tokoh penting di SMAN 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Abdul Muis, S.Pd., seorang guru Sosiologi yang juga Bendahara Komite, serta mantan Kepala Sekolah (Kepsek), Rasnal, yang diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) dari status Aparatur Sipil Negara (ASN) mendapat perhatian publik.

Keduanya dipecat terkait pengumpulan dana komite sekolah sebesar Rp20.000 per siswa.

Kasus ini bermula dari laporan sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menuduh adanya pungutan liar (pungli) di sekolah.

Guru Abdul Muis berinisiatif mengusulkan kepada wali murid untuk mengumpulkan sumbangan sukarela sebesar Rp20.000 per bulan.

Meskipun orang tua siswa dilaporkan menyetujui dan rela membayar iuran tersebut demi membantu guru honorer, inisiatif ini kemudian diselidiki oleh pihak berwenang.

Orang Tua Murid Membantu Mencari Keadilan

Sejumlah orang tua siswa SMAN 1 Luwu Utara angkat bicara mengenai sengketa dana komite sekolah yang menyeret mantan kepala sekolah dan bendahara komite hingga berujung pada hukuman penjara serta pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).

Orang tua siswa membantah adanya unsur paksaan dalam pembayaran dana komite.

Mereka menegaskan iuran tersebut dibayar secara sukarela dan merupakan hasil kesepakatan bersama orang tua siswa serta pihak komite sekolah.

"Pembayaran dana komite adalah kesepakatan orang tua. Kami tidak keberatan dengan iuran itu, karena anak kami yang dididik," kata Akramah, orang tua siswa SMAN 1 Luwu Utara yang ikut membayar dana komite pada 2018, dilansir dari Tribuntimur.com.

Akramah mengatakan, pembayaran iuran dilakukan dengan niat membantu guru honorer yang berjasa dalam mendidik anak-anak mereka.

"Pembayaran iuran itu untuk kebaikan guru yang mengajar anak kami. Kami tidak keberatan, apalagi Rp20 ribu itu tidak sebanding dengan jasa mereka," tambahnya.

Ia juga memastikan dalam rapat komite, seluruh orang tua siswa setuju untuk membayar iuran tersebut.

"Selama rapat tidak ada orang tua yang menolak. Semua setuju karena ini untuk membantu sekolah," katanya.

Akramah menyesali pemecatan terhadap dua pendidik tersebut yang dinilainya hanya berniat membantu guru honorer dan meningkatkan mutu pendidikan.

"Kembalikan hak dua guru yang dipecat. Mereka memiliki keluarga, dan anak-anak kami bisa sukses karena mereka," katanya sambil meneteskan air mata.

Orang tua siswa lainnya, Taslim, juga menegaskan iuran sebesar Rp20 ribu per bulan itu dibayar secara sukarela setelah melalui rapat dan kesepakatan bersama.

"Pembayaran iuran itu tidak langsung ada. Semua melalui rapat komite dan orang tua siswa," kata Taslim, Senin (10/11/2025).

Ia menjelaskan, kebijakan tersebut bahkan memberikan keringanan bagi keluarga yang memiliki lebih dari satu anak di sekolah.

"Jika ada dua anak bersaudara di sekolah, hanya satu yang membayar. Jadi memang tidak memberatkan," jelasnya.

Para orang tua berharap pemerintah dapat meninjau kembali keputusan pemecatan terhadap dua pendidik tersebut.

"Kami tidak menentang keputusan pemerintah, tetapi mungkin perlu ditinjau kembali karena ini bukan korupsi. Dana tersebut bukan uang negara, melainkan sumbangan sukarela dari orang tua siswa. Kami meminta Bapak Presiden memperhatikan masalah ini dan mengembalikan hak dua guru yang dipecat," harapnya.

Guru Dituduh Pungli

Masalah muncul pada tahun 2021 ketika seorang pemuda yang mengaku sebagai aktivis LSM datang ke rumah guru Abdul Muis dan menanyakan tentang dana sumbangan.

"Anak itu datang, langsung berkata: 'Benarkah sekolah menerima sumbangan?' Saya menjawab benar, itu hasil keputusan rapat. Tapi saya kaget, dia ingin memeriksa buku keuangan," kata Muis.

Tidak lama kemudian, ia menerima panggilan dari pihak kepolisian.

Kasus berkembang hingga ia dituduh melakukan pungutan liar (pungli) dan pemaksaan terhadap siswa.

Pengadilan menjatuhkan hukuman satu tahun penjara dan denda sebesar Rp50 juta, subsider tiga bulan kurungan.

"Saya menjalani enam bulan 29 hari karena ada pemotongan masa tahanan. Denda saya sudah bayar," katanya.

Menurut Muis, proses hukum berjalan panjang. Setelah berkas diserahkan ke kejaksaan, sempat dinyatakan belum lengkap (P19) karena belum ditemukan bukti kerugian negara.

"Lalu bagaimana pun, polisi bekerja sama dengan Inspektorat. Maka lahirlah kesaksian dari Inspektorat yang menyatakan bahwa Komite SMA 1 merugikan keuangan negara," kata Muis.

Ia menyebut Inspektorat Kabupaten Luwu Utara hadir sebagai saksi dalam persidangan tindak pidana korupsi tingkat pertama.

Rasnal dan Abdul Muis menjadi Tersangka

Mantan Kepala SMAN 1 Luwu Utara, Rasnal, dan bendahara komite, Abdul Muis, ditetapkan sebagai tersangka.

Keduanya telah menjalani hukuman di Rumah Tahanan (Rutan) Masamba dan menerima Surat Keputusan (SK) Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari Gubernur Sulawesi Selatan.

Meski menerima putusan, Muis tetap yakin tidak bersalah.

Ia menilai kasus itu terjadi karena kesalahpahaman terhadap peran komite sekolah.

"Jika itu disebut pungli, berarti memalak secara sepihak dan sembunyi-sembunyi. Padahal, semua keputusan kami terbuka, ada rapatnya, ada notulen, dan dana tersebut digunakan untuk kepentingan sekolah," kata Abdul Muis dilansir dari Kompas.com.

"Jika dipaksa, seharusnya semua siswa harus lunas. Tapi fakta yang ada banyak yang tidak membayar dan mereka tetap mengikuti ujian, tetap dilayani," tambahnya.

Setelah menjalani masa pidana, Muis kembali mengajar di SMAN 1 Luwu Utara.

Namun, beberapa waktu kemudian ia menerima SK pemberhentian tidak dengan hormat dari Gubernur Sulsel.

Setelah dihentikan dari status PNS, Muis mengaku pasrah namun tetap tegar.

"Rezeki itu urusan Allah. Setiap orang sudah ditentukan bagiannya. Saya tidak ingin terjebak. Hanya sedih saja, niat baik membantu sekolah malah berujung seperti ini," katanya pelan.

Aksi Solidaritas Guru

Keputusan PTDH ini tiba-tiba memicu gelombang kekhawatiran dan solidaritas dari berbagai pihak.

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Luwu Utara memimpin aksi damai, menuntut keadilan bagi rekan mereka yang dianggap menjadi korban kriminalisasi karena kebijakan sekolah yang berniat baik.

Tindakan itu juga mendukung Drs. Rasnal, M.Pd, guru dari UPT SMAN 3 Luwu Utara yang mengalami nasib serupa.

"Guru hari ini berada di posisi yang rentan. Tanpa perlindungan hukum yang jelas, kebijakan sekolah bisa berujung pada kriminalisasi," kata Ismaruddin, Ketua PGRI Luwu Utara.

PGRI kemudian mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Prabowo Subianto untuk dua guru tersebut.

Keduanya dipecat dengan tidak hormat berdasarkan keputusan Gubernur Sulsel:

- Drs. Rasnal, M.Pd, Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.2/3973/BKD

- Drs. Abdul Muis, Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.4/4771/BKD

Kini, Abdul Muis berharap keputusan PTDH dapat ditinjau ulang demi memulihkan martabatnya sebagai pendidik menjelang masa purnabakti.

 

"Saya hadir dengan niat tulus untuk membantu sekolah. Tapi mungkin ini adalah jalan yang harus saya tempuh. Saya hanya ingin orang-orang tahu, saya bukan seorang koruptor," kata Muis.

Ia tidak menyangka pengabdiannya selama puluhan tahun di dunia pendidikan harus berakhir dengan keputusan yang pahit.

Abdul Muis sendiri telah menjadi guru sejak tahun 1998, dengan total pengabdian selama 27 tahun.

DPRD Turun Tangan

Simpati dan dukungan untuk dua guru yang dipecat terus mengalir dari berbagai kalangan.

Salah satunya datang dari Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, A. Syafiuddin Patahuddin.

Mereka akan memfasilitasi Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk membahas masalah ini secara terbuka.

"Saya mendukung segala upaya yang dilakukan Pak Muis dan Pak Rasnal, dua guru yang teraniaya tersebut. Kita semua tentu berharap keadilan berpihak kepada mereka," kata Syafiuddin kepada Kompas.com, Senin (10/11/2025).

Menurut Syafiuddin, berbagai langkah sebenarnya telah diambil untuk mencegah penghentian keduanya.

Ia mengatakan, komunikasi sudah dilakukan dengan Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, khususnya dengan bidang disiplin pegawai.

"Beberapa langkah telah diambil untuk mencegah dan memediasi agar kedua guru tersebut tidak di-PDTH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat). Komunikasi sudah dibangun dengan Kadis Pendidikan Provinsi Sulsel, khususnya bagian disiplin," katanya.

Mereka juga telah berkoordinasi dengan pimpinan DPRD Sulsel, khususnya Komisi D yang menangani urusan pendidikan.

Fraksi PKS, katanya, siap memberikan dukungan politik dan memfasilitasi pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk membahas masalah ini secara terbuka.

"Saya sudah berkoordinasi dengan pimpinan DPRD Sulsel, khususnya ke Komisi D. Kami siap mendukung dan memfasilitasi RDP agar masalah ini bisa mendapat titik terang," katanya.

Syafiuddin menegaskan bahwa penyelesaian kasus seperti ini harus mengedepankan rasa keadilan dan kemanusiaan, bukan sekadar penegakan sanksi administratif.

"Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka telah menghabiskan hidupnya untuk memajukan bangsa. Karena itu, dalam kasus seperti ini, pendekatan kemanusiaan dan proporsionalitas harus menjadi pertimbangan utama," katanya.

Ia berharap RDP berikutnya dapat menghadirkan semua pihak terkait, termasuk Dinas Pendidikan, PGRI, dan perwakilan masyarakat pendidikan di Luwu Utara, agar solusi yang dihasilkan benar-benar berpihak pada kebenaran dan keadilan.

PGRI Mengajukan Permohonan Grasi

Sebelumnya, para guru yang tergabung dalam PGRI Luwu Utara menggelar aksi solidaritas di halaman kantor DPRD Luwu Utara pada Selasa (4/11/2025) sebagai bentuk dukungan terhadap Rasnal dan Abdul Muis.

PGRI Kabupaten Luwu Utara secara resmi mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Prabowo Subianto untuk dua guru yang dipecat tidak hormat setelah divonis bersalah dalam kasus pengutipan dana komite sekolah.

Ketua PGRI Luwu Utara, Ismaruddin, menyatakan pihaknya telah mengirim surat resmi kepada Presiden pada 4 November 2025.

Surat tersebut berisi permohonan agar kedua guru tersebut mendapatkan grasi dan kesempatan peninjauan kembali (PK) berdasarkan dasar kemanusiaan dan dedikasi panjang mereka dalam dunia pendidikan.

"Kami memohon kepada Bapak Presiden agar berkenan memberikan grasi kepada dua anggota kami yang telah mengabdi puluhan tahun sebagai pendidik. Kami menilai keduanya layak mendapat pertimbangan kemanusiaan dan keadilan," kata Ismaruddin kepada Kompas.com, Jumat (7/11/2025).

Ismaruddin menegaskan, permohonan grasi dan PK tersebut bukan untuk menolak keputusan pengadilan, melainkan untuk mencari keadilan yang lebih seimbang dengan mempertimbangkan sisi kemanusiaan dan pengabdian.

"Kami tidak mengabaikan hukum. Namun kami percaya, keadilan sejati bukan hanya tentang hukuman, tetapi juga tentang bagaimana negara memberi kesempatan kepada warganya untuk memperbaiki diri," katanya.

Artikel Ini Telah Tayang di TribunSumsel.com

Penulis blog

Tidak ada komentar