Beranda
ekonomi
kebijakan fiskal
pemerintah
politik
politik dan pemerintahan
Opini: Meminta Keadilan Fiskal untuk NTT di Tengah Paradoks Transfer ke Daerah
Redaksi
November 16, 2025

Opini: Meminta Keadilan Fiskal untuk NTT di Tengah Paradoks Transfer ke Daerah

Opini: Meminta Keadilan Fiskal untuk NTT di Tengah Paradoks Transfer ke Daerah

Oleh: Ester Theresia Clarita Tallo

Magister Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

PESANKU.CO.ID- Kebijakan fiskal nasional pada dasarnya bukan sekadar urusan anggaran teknis.

Lebih dari itu merupakan representasi ideologi kebangsaan bahwa Indonesia harus tumbuh bersama, berbagi beban secara adil dan memastikan tidak ada daerah yang tertinggal hanya karena kekurangan sumber daya alam.

Fiskal seharusnya sebagai medium gotong royong, bukan sekadar instrumen pembagian dana.

Hal ini menimbulkan luka yang bersifat administratif dan menyentuh akar keadilan sosial dalam NKRI.

Selama beberapa tahun terakhir, wajah kebijakan fiskal Indonesia mencerminkan sebuah ironi.

Alih-alih mengurangi ketimpangan antara daerah kaya dan miskin, kebijakan yang berlaku justru memperlebar jurang fiskal.

Nusa Tenggara Timur menjadi contoh paling jelas sebagai provinsi yang selama ini berjuang dengan keterbatasan PAD dan minimnya dana bagi hasil sumber daya alam, justru harus menerima kenyataan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) yang diterima tidak lebih besar dari daerah kaya.

Data dari 22 kabupaten/kota di NTT jika dibandingkan dengan 28 daerah berkapasitas fiskal tinggi menunjukkan fakta mengejutkan karena besaran DAU hampir sama.

Sebuah realitas yang bertentangan dengan filosofi DAU sebagai instrumen solidaritas nasional.

Jika semangat pemerataan yang dipegang masih sama, seharusnya daerah dengan kapasitas fiskal rendah mendapatkan bagian yang jauh lebih besar, karena kebutuhan pembiayaan layanan dasar jauh lebih besar dibandingkan kapasitas fiskal yang tersedia.

Lebih ironis lagi, daerah penghasil minyak, gas, dan mineral menerima alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) yang sangat besar, tetapi tetap memperoleh alokasi DAU yang setara dengan daerah miskin fiskal.

Situasi ini membuat ketimpangan dilegitimasi secara sistemik melalui regulasi yang berlaku.

Ketika daerah yang memiliki DBH melimpah dapat berinvestasi pada infrastruktur, layanan publik, dan pertumbuhan ekonomi, maka NTT harus bertahan dengan anggaran yang habis hanya untuk membayar belanja pegawai.

Perubahan mendasar dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 semakin memperparah situasi.

Dengan dihapusnya komponen alokasi dasar, DAU tidak lagi menyediakan ruang fiskal bagi daerah untuk membiayai pembangunan di luar belanja pegawai.

Kondisi ini menyebabkan DAU bagi daerah berkapasitas rendah seperti NTT hanya cukup untuk memenuhi belanja pegawai, termasuk penambahan beban berupa gaji P3K dan tunjangan peningkatan penghasilan yang ditetapkan pemerintah pusat pada tahun 2026.

Akibatnya, pemerintah daerah tidak lagi memiliki kapasitas yang memadai untuk melakukan inovasi peningkatan PAD atau memperbaiki layanan publik dasar.

Sementara itu, jurang lebar terjadi karena daerah kaya DBH tetap menerima dukungan pembangunan fisik dari pemerintah pusat.

Keadilan fiskal yang seharusnya menjadi roh kebijakan nasional justru tergeser oleh logika ekonomi politik yang memberikan keistimewaan kepada daerah dengan sumber daya melimpah.

Saat daerah miskin fiskal berjuang mempertahankan layanan minimal, daerah kaya terus melaju cepat dengan roda fiskal yang tidak pernah berhenti bergerak karena berbagai sumber pendanaan.

Situasi ini mendorong munculnya tuntutan wajar dari NTT untuk menata ulang struktur kebijakan fiskal nasional.

Provinsi ini tidak sedang menuntut keistimewaan, tetapi menagih hak yang telah lama dijanjikan oleh sistem otonomi daerah untuk mendapatkan porsi fiskal yang adil, proporsional, dan sesuai dengan kebutuhan nyata.

Keadilan fiskal bukanlah sesuatu yang diberikan karena belas kasihan, tetapi dasar pokok yang terkandung dalam semangat konstitusi untuk meningkatkan kesejahteraan umum.

Dalam konteks ketimpangan yang telah berlangsung bertahun-tahun, NTT menegaskan pentingnya adanya dana afirmasi keberimbangan fiskal sebagai kompensasi atas ketidakadilan yang terus berulang.

Dana ini diperlukan bukan hanya untuk menutupi kekurangan jangka pendek, tetapi juga untuk mengembalikan kemampuan daerah dalam menjalankan pembangunan secara bermakna.

Di sisi lain, reformasi regulasi juga menjadi kebutuhan mendesak seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 perlu dikaji ulang secara menyeluruh karena telah mengubah filosofi dasar hubungan fiskal antara pusat dan daerah yang bergeser dari prinsip pemerataan menuju logika kompetisi fiskal yang tidak setara.

Reformasi tersebut harus dimulai dari pemulihan fungsi DAU sebagai instrumen ideologis agar tidak dianggap sebagai formula teknokratis.

Perhitungan kebutuhan fiskal harus menggunakan variabel nyata seperti biaya pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) daripada variabel indikatif yang tidak jelas.

Misalnya, infrastruktur jalan harus menjadi bagian dari perhitungan kebutuhan dasar, sehingga indeks kemahalan tidak lagi berdiri sendiri tanpa hubungan langsung dengan kebutuhan riil daerah.

Dalam jangka panjang kejelasan satuan biaya, integrasi urusan wajib, dan pemisahan tegas antara DAU dan DAK menjadi kunci untuk mengembalikan rasionalitas kebijakan fiskal.

Paradoks ini seharusnya menempatkan desentralisasi sebagai utopia ideal yang menggambarkan kepercayaan negara kepada daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri.

Jika terjadi hambatan, akar persoalannya ada pada kelemahan sistem pendampingan, pengawasan, dan pengendalian yang dilakukan oleh pusat.

Kembalinya naluri resentralisasi hanya akan melemahkan daerah dan mengingkari semangat reformasi pemerintahan yang telah dibangun sejak dua dekade lalu.

Tidak mungkin republik ini berkembang kuat jika daerah-daerah yang lemah dibiarkan berjalan sendiri tanpa dukungan fiskal yang memadai.

NTT sebagai salah satu provinsi dengan kapasitas fiskal paling rentan mengajukan suara kritis bukan untuk membantah negara, melainkan untuk mengingatkan bahwa prinsip keadilan fiskal adalah fondasi persatuan.

Ketika kebijakan fiskal gagal mencerminkan prinsip keadilan, maka yang retak bukan hanya sistem anggaran tetapi juga kepercayaan publik terhadap janji-janji konstitusi.

Ini saatnya pemerintah pusat melihat kembali cermin fiskal yang semakin memudar untuk mengembalikan Indonesia pada jalur keadilan dan gotong royong yang sejati.

Karena hanya dengan itu, amanat kesejahteraan umum dapat diwujudkan bagi seluruh rakyat termasuk membangun masa depan dari tanah Nusa Tenggara Timur. (*)

Teruskan membaca artikel PESANKU.CO.ID di Google News

Penulis blog

Tidak ada komentar