
NOIS.CO.ID, JAKARTA - Dimulai pada 2015, tingkat pencampuran (blending rate) antara biodiesel yang diolah dari minyak mentah kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dengan solar fosil terus naik: dari B15 pada 2015 menjadi B40 pada 2025.
Tahun depan ditargetkan menjadi B50. B50 berisi campuran 50% biodiesel kelapa sawit (Fatty Acid Methyl Ester/FAME) dan 50% solar fosil. Penggunaan bahan bakar nabati (BBN) terus digenjot. Bukan hanya berbasis biodiesel, tetapi biohidrokarbon (green diesel, green gasoline, dan green avtur) serta biogas.
Langkah ini diyakini akan meningkatkan kemandirian energi Indonesia. Setelah kewajiban konsumsi biodiesel diperluas ke seluruh sektor, baik sektor jasa pelayanan publik maupun non-publik, ketergantungan impor solar fosil menurun drastis.
Sebelum 2015, ketergantungan Indonesia terhadap pasar minyak sawit dunia sangat tinggi. Pengolahan hilir sawit masih rendah. Sejak 2015, pengolahan hilir sawit mengalami kemajuan yang pesat dan signifikan setelah diintegrasikan dengan kebijakan perdagangan internasional, yaitu pungutan ekspor (levy) minyak sawit.
Sejak itu, ketergantungan Indonesia terhadap pasar sawit dunia menurun, nilai tambah domestik meningkat, ekspor produk olahan menjadi dominan, serta substitusi impor produk yang dapat digantikan dengan produk olahan dari sawit.
Dihargai atau tidak, biodiesel wajib telah menjadi salah satu instrumen pengubah permainan (game changer) dan variabel penting yang menentukan dinamika harga minyak sawit dunia. CPO yang terserap oleh program biodiesel wajib pada tahun 2024 mencapai 11,4 juta ton.
Ini mengurangi ekspor ke pasar dunia sehingga memengaruhi stok minyak sawit (menjaga kelebihan permintaan) di negara pengimpor sawit. Sebagai produsen dan eksportir sawit terbesar di dunia, volume ekspor CPO Indonesia memengaruhi pergerakan harga CPO di pasar dunia.
Kewajiban meningkatkan kandungan biodiesel sawit menyebabkan konsumsi CPO untuk program BBN terus meningkat dari waktu ke waktu. Pada tahun 2019, porsi konsumsi baru mencapai 34,5% dari total konsumsi CPO domestik. Pada 2024, porsi konsumsi CPO untuk BBN melonjak menjadi 47,9%. Dalam periode yang sama, porsi konsumsi CPO untuk pangan turun drastis: dari 58,9% pada 2019 menjadi 42,7% pada 2024.
Sementara itu, porsi konsumsi CPO untuk oleokimia relatif stagnan: 6,6% pada 2019 menjadi 9,25% pada 2024. Penurunan drastis porsi CPO untuk pangan terjadi bukan karena permintaan aneka produk olahan maupun produk jadi menurun, melainkan karena ada lonjakan luar biasa penggunaan CPO oleh produsen biodiesel. Tanpa banyak disadari, program BBN telah menciptakan arena baru pertarungan konsumsi CPO: untuk mengenyangkan perut atau menggerakkan mesin. Untuk pangan, CPO diolah menjadi produk hilir, seperti minyak goreng sawit, margarin, shortening, es krim, krimmer, cocoa butter/specialty fat, dan produk farmasi seperti vitamin A, vitamin E, dan Squalene. Ini semua untuk melayani perut.
Hampir dapat dipastikan daya beli konsumen untuk 'pelayanan perut' ini kalah dari kalangan yang memproduksi 'penggerak mesin'. Ketika terjadi persaingan konsumsi di pasar bebas, hampir dapat dipastikan alokasi CPO untuk 'pelayanan perut' akan kalah. Bukan hanya karena daya tawar mereka lebih rendah, tetapi juga karena pertama, tidak ada alokasi pasti CPO untuk pangan. Tidak ada mandatory. Saat alokasi CPO semakin banyak terserap oleh program BBN, hal tersebut berpotensi mengurangi CPO yang tersedia untuk berbagai produk hilir pangan. Kedua, keuntungan mengalokasikan CPO untuk diolah menjadi biodiesel jauh lebih menggiurkan karena mendapat jaminan harga yang lebih tinggi dari pemerintah berdasarkan harga internasional.
Lebih menggiurkan karena terbebas dari pajak ekspor dan levy. Bagi korporasi terintegrasi hulu-hilir, mereka memiliki fleksibilitas untuk mengalirkan CPO produksi sendiri atau membeli dari perkebunan independen atau milik rakyat secara relatif lebih banyak ke unit produksi biodiesel dibandingkan ke unit produksi industri pangan (Basri dkk, 2023). Ketika porsi CPO lebih banyak terserap untuk biodiesel, implikasinya adalah porsi untuk pangan semakin berkurang.
Dampak lanjutannya, berbagai produk pangan olahan, terutama minyak goreng, akan terancam. Situasi yang tidak pasti ini berpotensi menyebabkan minyak goreng menjadi langka atau harganya melonjak tinggi, seperti gejolak pada tahun 2021—2022. Saat itu negara yang diwakili oleh pemerintah tidak mampu memulihkan kekacauan tata niaga minyak goreng. Perusahaan raksasa perkebunan kelapa sawit yang terintegrasi dari hulu ke hilir leluasa mendikte pasar.
Memang ada kebijakan kewajiban pasar domestik (DMO) CPO bagi para eksportir. Hasil DMO CPO digunakan untuk memproduksi MinyaKita. Namun, kebijakan DMO dinilai rendah efektivitasnya, terbukti sampai saat ini harga MinyaKita masih berada di atas harga eceran tertinggi, yaitu Rp15.700/liter. Untuk memastikan akses kelompok miskin/berpenghasilan rendah dan UMKM terhadap minyak goreng, sebaiknya dilakukan subsidi melalui transfer tunai.
Dalam jangka menengah hingga panjang, harus ada upaya serius untuk menggeser dominasi pabrik minyak goreng swasta yang terintegrasi hulu-hilir menjadi pabrik minyak goreng rakyat (dan BUMN). Dengan penguasaan lahan sawit sebesar 42,29% oleh rakyat, ini bisa dijadikan basis untuk memperkuat pabrik minyak goreng mini yang berbasis rakyat.
Tidak ada komentar